Skip to main content

Antara Kegaduhan dan Semangat Toleransi

 Pernah mendengar suara merdu pernyanyi? Sering pastinya. Tetapi pernahkah mendengar suara merdu itu begitu kerasnya karena menggunakan pengeras suara disetel maksimal di dekat telinga? Bagaimana reaksi anda? Ikut bersenandung atau marah?

Beberapa waktu lalu karena ketiadaan tempat, penulis harus berbagi ruang dengan sekelompok ibu-ibu yang sedang berlatih kasidah sementara penulis mendampingi komunitas  ibu-ibu lainnya yang membuat kerajinan bekas kemasan plastik. Suara mereka sangat merdu. Sayang penyanyi utama selalu menggunakan pengeras suara di ruang seluas 7 x 3 meter itu. Bahkan ketika berbincang-bincang, dia tidak pernah melepaskan mike-nya.
Entah mengapa. Mungkin dia tahu suaranya merdu, atau malah mungkin dia tidak pede. Karena penyanyi utama masih gadis muda belia sedangkan anggota kasidah yang lain ibu-ibu rumah tangga lengkap dengan anak-anaknya yang mondar-mandir bersliweran. Bahkan seorang ibu menyanyi sambil menggendong anaknya.

Menyenangkan, melihat ibu-ibu yang masih meluangkan waktu berkegiatan  sambil mengasuh anak. Walau telinga rasanya pekak. Tetapi ya itulah dinamika hidup di pemukiman padat penduduk.

Tetapi situasi tidak bisa ditolerir ketika hal tersebut terjadi di rumah penulis.  Penulis sedang sibuk membuat program untuk komunitas ketika tiba-tiba terdengar suara memekakkan telinga dari arah rumah tetangga di samping kiri. Setahu penulis, ibu tetangga sebelah memang rajin berlatih bernyanyi bersama teman-temannya. Maklum ketiga anaknya sudah berkeluarga, ketiganya sudah lulus S2 atau S3 dan bertempat tinggal jauh dari ibunya.
Tapi suaranya tidak pernah sekeras ini dan ……….. lho kok lagu yang dinyanyikan bukan seperti biasanya (lagu jadul seperti: “Sepanjang Jalan Kenangan”, “Widuri” atau “Kemesraan”)?

Lagu “Balonku” disuarakan dengan keras sekali …..mungkin volume pengeras suara disetel pol maksimal, menyusul lyric lagu “Pegang telinga, …….. ketek,…….pantat…….,  Pegang telinga…….ketek……pantat………..”, …………

Halahhh……apa pula ini?

Penasaran penulis naik ke teras lantai 3 dan melongok dari depan kamar anak nomor 2 dan 3 yang sekarang sedang kost di Semarang dan Jogja karena kuliah di Undip dan UGM sehingga nyaris kosong. Ternyata, ya ampun ………
13320097161962341256
badut ^_^
Seorang badut sedang memimpin acara dengan suara kerasnya. Mungkin salah seorang cucu tetangga sebelah sedang ulang tahun. Tapi mengapa harus dengan suara sekeras itu. Suara kerasnya melebihi suara adzan yang berkumandang 5 kali sehari dari mesjid kompleks. Bahkan suara keras si badut mungkin bisa terdengar hingga melewati kompleks.

Bagaimana apabila ada tetangga yang sakit? Bagaimana apabila ada anak tetangga yang sedang belajar menyambut ujian. Untung si sulung sedang belajar di rumah temannya. Apabila tidak, anak yang rajin belajar ini pasti akan marah-marah karena waktu belajarnya terganggu.
Penasaran penulis mencari perda kegaduhan, ternyata ada!

Peraturan Daerah Kota Bandung Nomor 03 tahun 2005 tentang Penyelenggaraan Ketertiban, Kebersihan dan Keindahan ,Pasal 48 nomor 19 tersebut berbunyi demikian:
“Setiap orang yang membuat gaduh sekitar tempat tinggal atau membuat sesuatu yang dapat mengganggu ketentraman orang lain, seperti suara binatang, suara musik, suara kendaraan mendapat sanksi setinggi-tingginya Rp 250.000 (Dua ratus lima puluh ribu rupiah)”.

Aha, pasti uang sejumlah itu remeh artinya bagi tetangga tersebut.  Dengan mudahnya dia dapat membayar. Tapi bukan itu esensinya. Dia sudah membuat kegaduhan. Dan untuk semua kegaduhan itu dia merasa tidak perlu memberi tahu apalagi minta izin pada tetangganya.

Di pemukiman padat dimana perhelatan pernikahan dilaksanakan di rumah-rumah penduduk. Kegaduhan sering tak terhindarkan. Halaman rumah tetangga sering menjadi tempat duduk tamu undangan bahkan terkena imbas sampah makanan dan minuman. Tapi toh semua memaklumi karena si empunya hajat pasti minta izin pada para tetangganya. Tetanggapun dengan sukarela membuka pintu pagarnya.

Ini sih…….. huh,  karena kesal, penulis turun untuk mengambil kamera. Sesudah jeprat jepret dan penulis turun dengan niatan menulis kegalauan ini, eh volume pengeras suara mengecil. Dalam ambang batas bisa ditolerir.

Mungkin panitia atau tuan rumah telah melihat penulis memotret dan mendapat firasat bahwa kegaduhan yang ditimbulkannya akan diposting.

Firasat yang tepat sekali ^_^

**Maria Hardayanto**
1332010845902019371
berbagi ruang di tempat sempt, gaduhpun tak apa
13320109831244240465
anak-anak berlarian, sementara para ibu belajar kasidah (dok. Maria Hardayanto)

Comments

Popular posts from this blog

Nasi Tumpeng Singkong Yang Lekker

  Nasi tumpeng singkong pesanan Kecamatan Sukajadi Siapa yang tak kenal tumpeng? Setiap syukuran rumah baru, ulang tahun, khitanan dan berbagai even lain, umumnya penyelenggara pesta menghidangkan tumpeng. Mungkin karena mudah, tidak bingung menyerasikan nasi dan lauk pauknya. Yang penting rame ketika acara motong tumpeng yang biasanya ditandai dengan menyendok puncak tumpeng dan memberikan pada seseorang yang dihormati/disayangi.  Ternyata bentuk tumpeng yang mengerucut keatas merupakan symbol agar kualitas hidup terus meningkat, sedangkan lauk pauk menjadi symbol ekosistem kehidupan alam. Itulah mungkin penyebab begitu beragamnya lauk yang tersaji di tumpeng, mulai dari urap, telur balado, ayam goreng, sambal goreng tempe, perkedel dan tentu saja tak pernah ketinggalan: “sambal!” Mengingat begitu seringnya tumpeng disajikan, kamipun memutar otak agar syukur-syukur jika suatu kali nanti mendapat order, minimal ya memperkenalkan makanan olahan singkong dalam bentu

Imas Masitoh; Perempuan Pejuang dari Kampung Cibungur

Hidup dengan kekurangan materi tidak menyurutkan langkah Imas Masitoh Resmiati untuk berbuat baik pada sesama. Penjual gorengan berusia 42 tahun ini merasa terenyuh melihat banyaknya anak yatim piatu   disekitar tempat tinggalnya.   Imas memahami betapa mereka butuh perhatian dan kasih sayang. Kebutuhan intangible yang sering tidak dipedulikan   di masa serba cepat dan instan ini. Padahal banyak diantara anak yatim piatu yang tergolong anak berkebutuhan khusus. Imaspun   akhirnya   berinisiatif mengasuh mereka. Apa yang dilakukan Imas tergolong nekad. Penghasilan dari hasil menjual gorengan dan keset hasil kerajinan tangan yang dijajakan dari rumah ke rumah, jelas tidaklah cukup. Ditambah suaminya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Rumah kecilnya juga tidak dapat menampung penghuni baru karena Imas sudah memiliki 2 anak. Namun Imas percaya, Tuhan akan membantu setiap perbuatan baik. Dan keyakinannya terbukti, bantuan mengalir. Jumlah anak yang diasuhnya bertam

Perkedel Singkong Yang Yummyyyy........

  perkedel singkong, selalu disertakan pada tumpeng singkong Awalnya hanya ajakan untuk membuat nasi tumpeng singkong, sebagai pengganti nasi tumpeng beras yang jamak ditemui diperhelatan. Ternyata salah seorang anggota komunitas, ibu Odang berkreasi membuat perkedel singkong. Rasanya? Luar biasa, yummyyy …… mungkin karena ngga bikin eneg ya? Menurut ibu Odang, singkong bisa diparut halus dahulu kemudian dibumbui, atau dikukus hingga mekar kemudian dihaluskan selagi panas. Bahan-bahannya sebagai berikut: 500 gram singkong 100 gr daging cincang 1 sendok makan margarin 3 siung bawang putih dikeprek 2 siung bawang merah diiris halus 2 lembar daun bawang Merica secukupnya Pala halus secukupnya Garam secukupnya 1 kuning telur 1 putih telur Minyak untuk menggoreng Cara membuat: 1.     Panaskan margarine, tumis bawang merah dan bawang putih yang telah diulek bersama merica dan pala. 2.     Masukkan daging cincang, masak hingga harum dan ai