Perbuatan
baik haruslah benar. Apabila tidak benar maka akan menjadi kesalahan
fatal. Contohnya menengok orang sakit adalah perbuatan baik. Tetapi
menjadi tidak benar ketika tetangga satu RT menengok bersama-sama
sekaligus. Apalagi sambil membawa makanan yang menjadi pantangan si sakit. Entahlah apa yang akan terjadi. Mungkin penyakitnya akan bertambah parah. Atau bahkan mungkin bisa lebih fatal.
Demikian
pula halnya dengan pendidikan lingkungan hidup. Pendidikan Lingkungan
Hidup (PLH) selama 2 jam per minggu merupakan salah satu pelajaran yang termasuk muatan lokal (Mulok) yang harus diajarkan pada murid-murid sekolah di kotamadya Bandung.
Tetapi bagaimana apabila cara pengajarannya salah? Khususnya menyangkut anak-anak sekolah taman kanak-kanak (TK) yang masih polos bak kertas putih belum mendapat coretan apapun. Maka kesalahan harus diungkap tanpa tedeng aling-aling.
Tulisan penulis kali ini merujuk pada tulisan kompasianer Achmad Siddik mengenai seorang guru TK yang memberikan
pendidikan lingkungan hidup pada murid-muridnya. Salah satunya adalah
tatkala memperingati hari Air. Mengapa harus membagi-bagikan air minum
dalam kemasan kepada orang tak mampu? Tahukah sang ibu guru bahwa dia
sedang mengajar murid-muridnya membagikan sampah kemasan ? Tahukah dia bahwa dia sedang berkontribusi menambah sampah, alih-alih mengurangi? Tahukah dia bahwa hanya 10 % dari total sampah kemasan yang berhasil di daur ulang? Sisanya menunggu ratusan tahun lamanya untuk terurai di bumi?
Membagi-bagikan air minum dalam kemasan (AMDK) juga mengajarkan anak untuk mengikuti arus kapitalis yang telah lama menyengsarakan wong cilik dengan praktek privatisasi air. Sebagai warga yang peduli
lingkungan dan tinggal di Bandung, mengapa tidak menghubungi Wahana
Lingkungan Hidup (Walhi) Jabar, di jalan Piit no 5 Bandung? Disana
banyak rekomendasi pelajaran untuk anak didik termasuk film tentang
air. Tentang bagaimana air berproses dari air hujan dan mengendap dalam
waktu yang cukup lama (bertahun-tahun lamanya) hingga menjadi air tanah yang layak dikonsumsi.
Dengan
menonton film seperti itu, anak didik akan lebih menghargai air. Karena
proses edukasi memang harus dimulai dari diri sendiri. Dari yang terkecil dan mulai saat itu. Sesudah anak mempunyai cukup pemahaman barulah proses “memberi”.
Kegiatan menarik lainnya yang bisa dilakukan sesudah menonton film adalah menggambar. Anak-anak diberikan tugas menggambar tentang air sesuai gambaran yang mereka miliki lengkap dengan konsep yang mereka
pahami tentang bagaimana cara/bentuk memberi air. Apakah takut hasilnya
akan ngawur, jelek dan “liar”? mengapa? Biarkan saja. Itulah dunia
mereka, bahkan kalaupun hasilnya adalah gambar air yang berbentuk melingkar-lingkar bak spiral atau kotak-kotak. Emang kenapa? Itu jauh lebih bagus daripada anak TK yang didikte memberi air dengan cara yang salah.
Serba
bagus, serba enak dipandang dan memukau untuk dipotret. Itulah ciri
karnaval. Tetapi mengapa harus diselenggarakan? Sejauh mana manfaat
dan keefektifannya? Siapa yang melihat
karnaval? Warga di sekitar sekolah? Tukang becak? Sesudah itu apa
kelanjutannya? Apakah penonton karnaval akan lebih menghargai air dan
lingkungan hidupnya? Akan teredukasi?
Bukankah
karnaval seperti itu hanya menghasilkan tumpukan sampah? Duh, semoga
mereka tidak menggunakan styrofoam untuk membuat tulisan dan gambar yang digantungkan di bagian depan badan mereka yang mungil.
Apabila mereka menggunakan styrofoam, tidak ada artinya mereka
menyintai pohon. Karena usia pohon jauh dibawah usia styrofoam yang tidak akan lenyap dari muka bumi kecuali dibakar. Malangnya membakar styrofoam menimbulkan masalah lain yaitu menyebarkan asap yang mengandung styrene yang berpotensi menyebabkan kerusakan otak ketika dihirup.
Mengapa
tidak diadakan lomba memilah sampah organik dan anorganik dan
memasukkannya ke tempat sampah organik dan anorganik? Lebih baik lagi
diperkenalkan B3 sebagai limbah berbahaya, contohnya batu batere. Sehingga anak-anak tidak sembarangan bermain dengan batu batere yang sudah
rusak hingga mengeluarkan cairan. Lomba cerdas cermat juga
menyenangkan. Tentu saja dengan pertanyaan setingkat mereka, misalnya:
“Termasuk jenis apakah sampah kertas?”
“Termasuk jenis apakah sampah sedotan?
Tidak
hanya pohon produktif, anak-anak juga bisa diajarkan ber-urban farming
di pot atau di polybag dan memasak hasilnya untuk dimakan bersama.
Misalnya sayur bening bayam dan jagung manis. Anak-anak hanya perlu
membawa nasi dalam misting dan air minum dalam tumbler.
Ada lagi? Banyak! Selain penilaian siapa yang paling
rajin membawa bekal makanan sehat, anak-anak juga dapat diajarkan
mengisi kompos dengan sisa sayuran atau sisa makanan ke dalam kotak takakura dan atau lubang biopori. Mau mengajak anak-anak TK belajar membuat kotak takakura dan lubang resapan biopori (LRB)? Bisa juga, toh cara membuatnya mudah.
Edukasi
lingkungan hidup pada anak-anak TK, sesungguhnya merupakan tugas mulia.
Gampang-gampang susah karena berhadapan dengan anak-anak yang mudah buyar konsentrasi belajarnya. Karena itu sebagai guru TK yang mempunyai otoritas sekaligus kecintaan pada anak-anak, seharusnya semua dipersiapkan dengan teliti mengingat dia sedang melukis ingatan terdalam seorang anak tentang lingkungan hidupnya. Lingkungan hidup yang harus dia jaga karena milik generasi selanjutnya.
Maaf, tulisan kali ini mungkin sangat pedas. Tapi proses edukasi haruslah benar, tidak sekedar baik. Karena seperti contoh yang pernah
diberikan ustaz Aam Amirudin. Sholat Subuh itu jumlahnya hanya 2
rakaat. Apabila mau ditambah menjadi 4 rakaat adalah baik, tapi tidak
benar alias salah.
**Maria Hardayanto**
Comments
Post a Comment