Kebetulan penulis bertemu dua komunitas yang mempunyai masalah persampahan. Salah satu komunitas terletak di bantaran sungai Cidurian Bandung yaitu komunitas Engkang-engkang. Engkang-engkang (bahasa Sunda) atau anggang-anggang (bahasa Indonesia) adalah nama binatang yang hanya bisa hidup di air jernih.
Pemilihan nama Engkang-engkang jelas menunjukkan tujuan komunitas untuk mengembalikan lingkungannya kembali asri hingga binatang anggang-anggang bersedia hidup kembali di aliran sungai Cidurian. Angan yang mungkin terlalu muluk, tetapi bukan tidak mungkin tercapai. Karena manusialah yang merusak sungai maka manusia juga yang harus memperbaiki kerusakan.
Langkah pertama yang dilakukan adalah memagari lahan antara sungai dan jalan umum agar warga tidak leluasa membuang sampah ke sungai. Dilanjutkan dengan kesepakatan untuk meletakkan sampah di pinggir sungai karena secara periodik petugas PD Kebersihan akan datang untuk mengangkut. Tentu saja dengan biaya tambahan karena lokasi bantaran sungai umumnya curam.
Setelah langkah awal untuk tidak membuang sampah ke sungai, seharusnya dilanjutkan dengan pengomposan agar 60 – 70 persen sampah tidak dibuang ke TPS. Sayangnya program pengomposan tidak semudah diucapkan, karena itu program pengomposan berbarengan dengan urban farming. Agar warga bisa mendapat dua keuntungan sekaligus : menipisnya sampah dan hasil pengomposan yaitu kompos sebagai media tanam yang menyuburkan tanaman.
Sayangnya tanah dipinggir sungai rupanya telah bercampur brangkal sisa bangunan yang dibongkar. Cara termudah membuang brangkal memang di tanah kosong atau di pinggir kali. Persis seperti kebiasaan membuang sampah.
Keberadaan brangkal di dalam komposisi tanah menyebabkan tanaman cabai berbuah sebelum waktunya , cebol enggan meninggi dan tidak berbuah lebat. Karena itu penulis membantu mengirim tanah Lembang yang konon subur.
Selain itu penulis juga menyanggupi undangan bapak Wakil Walikota Bandung, Ayi Vivananda untuk mengajak komunitas bertandang ke rumahnya dan mempelajari kiat-kiat urban farming. Sebetulnya tidak banyak ilmu yang didapat karena ilmu sesungguhnya diperoleh ketika urban farming dilaksanakan. Kedatangan mereka kesana hanya sebagaitrigger agar semangat urban farming terus terjaga, selain tentu saja karena mereka sangat senang mendapat berbagai tanaman sayuran hasil urban farming pak Ayi.
Salah satu yang diajarkan pak Ayi adalah mengambil sedimen sungai sebagai media urban farming dengan alasan tanah tersebut sangat subur walau bercampur kerikil. Selintas mungkin benar , mengingat mayoritas warga menggunakan aliran sungai sebagai septitank raksasa.
Sehingga semua sampah organik mengendap disitu.Tetapi jangan dilupakan juga sampah anorganik khususnya limbah B3. Mulai limbah detergen hingga bekas batu baterai dibuang ke aliran sungai.
Anehnya warga tidak mempedulikan dan tetap mengambil tanah sedimen dari aliran sungai ke bantaran. Cukup tinggi dan curam untuk ukuran ibu-ibu. Tidak saya foto karena saya sungguh-sungguh tidak tega :P Semangat apa yang memotivasi mereka? Sekedar eksperimen untuk membuktikan kesuburan tanah hasil sedimen sungai atau ……… entahlah. Yang jelas tanaman bermedia tanah sedimen sungai banyak yang mati. Mungkin juga karena pada bulan Desember 2011, curah hujan masih cukup tinggi.
Walaupun demikian banyak juga tanaman yang berhasil tumbuh, mulai dari labu siam, pare, bloomkol, mentimun, selada keriting, bawang daun, cabe merah dan cabe rawit. Beberapa warga ternyata mengidamkan suasana berkebun seperti di kampungnya.
Karena mayoritas penduduk Bandung adalah kaum urban. Mulai dari perumahan mewah hingga perumahan kumuh. Jangan heran apabila banyak warga berbincang asyik dengan bahasa daerahnya yang notabene bukan bahasa Sunda.
Mungkin itu pulalah yang menyebabkan masalah sampah berserakan tak kunjung terselesaikan. Gegar budaya. Bingung ketika mendapati kenyataan bahwa uang begitu mudah dicari sekaligus mudah pula dihabiskan. Perubahan terjadi mulai mereka bangun hingga kembali ke peraduan.
Rumah yang sumpek, panas, berdebu, terpapar polutan tinggi bukanlah suasana yang kondusif untuk hidup sehat. Sehingga adanya sepetak tanaman urban farming ini disambut gembira oleh pak Ade dan istrinya, keluarga yang tinggal di bantaran dan bekerja serabutan sebagai buruh bangunan.
Tidak ada yang menyangka bahwa semula tanah sepetak ini adalah area favorit membuang sampah. Tetapi begitu menjadi lahan urban farming yang terpelihara dengan sungguh-sungguh maka warga yang lain menahan diri untuk tidak membuang sampah disitu. Bahkan terjadi efek domino berkelanjutan walau prosesnya terasa lambat.
Mulai dari menahan membuang sampah, mengompos untuk tanaman, menyirami tanaman walau harus mengambil air dari tempat yang cukup jauh hingga mengonsumsi hasil urban farming berupa sayuran sehat karena tidak menggunakan pupuk kimia.
Selain panganan sehat dan bergizi, ibu rumah tanggapun dapat menghemat anggaran dapur. Uang Rp 2.000 yang sedianya digunakan untuk membeli kangkung, bayam atau pakchoy kini dapat disimpan untuk keperluan lain. Hasil urban farming memang tidak harus langsung berbentuk rupiah tetapi penghematan uang sayur dan kesehatan yang terjaga bukankah terkadang lebih besar nilai nominalnya?
Sayangnya sekitar 3 bulan yang lalu, kesenangan komunitas terusik. Pemerintah kota datang membawa program “Green City”, semua tanaman urban farming dibongkar, pagar diperbaharui dan dicat. Paranet dipasang untuk menutupi sekitar 1.000 meter persegi lahan. Dannnnnnn…………………………menanami area tersebut dengan tanaman hias!!
Oh ya ampun pemkot Bandung, tahukah kalian apa artinya Green City? Mengertikah kalian tentang konsep Green Economy yang menjadi tema hari lingkungan hidup tahun ini. Mengertikah kalian bahwa ibu Ani Yudoyono memasang plang melintasi jalan-jalan besar tentang konsep ketahanan pangan dalam pemanfaatan ruang terbuka hijau.
Sakit rasanya. Lebih sakit lagi ketika mengetahui dari dana sekitar Rp 50 juta tersebut enggan dianggarkan untuk pembelian/pembuatan komposter seharga Rp 150 ribu saja. Komposter diperlukan untuk mengolah sisa tanaman, sehingga penggiat urban farming tidak harus membeli kompos lagi.
Dengan berlinang mata, penulis merangkul anggota komunitas lain yang merasa keberatan dengan keberadaan tanaman hias. “Tidak bisa dimakan”, katanya. “Tanamannya jelek-jelek, tanaman hias pinggir jalan” sahut lainnya. Penulis sependapat dengan mereka, tetapi apa mau dikata, rupanya pemerintah kota Bandung mempunyai cara yang dianggap lebih “cerdas” untuk membelanjakan uang rakyat.
**Maria G. Soemitro**
Comments
Post a Comment