Salah Satu Cara Rodhi Mahfur Memasarkan karyanya |
Pada
tahun 1987, pendiri Microsoft, Bill Gates memprediksi bahwa 20 tahun mendatang
teknologi komunikasi semudah sentuhan jari. Ramalannya terbukti. Kini berkat
kemajuan teknologi presiden SBY bisa teleconference
dari Jakarta membahas bencana asap di Riau dengan pejabat setempat. Seorang
ibu di Indonesia bisa melepas kangen dengan anaknya yang belajar di Eropa
melalui Skype. Seorang kepala produksi bisa mengorganisir proses produksi
dengan menggunakan ponselnya. Kemajuan teknologi komunikasi sungguh
mempermudah, mempercepat dan mendekatkan jarak sehingga menghemat biaya.
Salah
satu sektor yang sangat terbantu dengan kemajuan teknologi komunikasi adalah
industri kreatif. Industri yang memerlukan pemasaran intens dengan biaya minim.
Karena umumnya penggiat ekonomi kreatif tidak saja bermodal cekak,
produksinyapun bukan barang pabrikan. Contohnya lukisan, musik indie dan
buku-buku yang diterbitkan sendiri.
Opik
Geulang merupakan salah seorang yang beruntung bisa menggunakan kemajuan
teknologi komunikasi untuk mempromosikan karyanya. Opik yang terlahir dengan
nama Taufik Hidayat seorang penyandang cerebral palsy (CP), sering juga disebut
lumpuh otak. Wajah dan anggota
tubuhnya bergerak-gerak tak terkontrol, karena penyandangnya tidak dapat
mengendalikan kemampuan motorik sehingga terkesan mengalami keterbelakangan
mental. Tapi selain kesulitan mengkomunikasikan apa yang dipikirkannya secara
verbal, Opik sesempurna manusia lainnya.
Secara berkala Opik mengisi status facebook dengan puisi-puisi seperti
contoh dibawah ini:
“Melayang menembus awan putih lalu terjatuh ke dataran lapang
yang tak bertepi
Mendaki gunung yang tertinggi lalu menjatuhkan jiwa ke hamparan hijau hingga jiwa hancur berkeping-keping
Berlayar di lautan lepas menunggu badai menghantam jiwa ke dalam dasar lautan”
Mendaki gunung yang tertinggi lalu menjatuhkan jiwa ke hamparan hijau hingga jiwa hancur berkeping-keping
Berlayar di lautan lepas menunggu badai menghantam jiwa ke dalam dasar lautan”
Berkat ketekunannya
menulis puisi, penerbit Ultimus dan Yayasan Sidikara Bandung tertarik
menerbitkan kumpulan puisinya. Hingga tahun 2014, sudah diterbitkan 2 buah buku
karya Opik (satu buah karya antologi)
yang tentu saja dipromosikan melalui media sosial karena mudah, murah
dan membantu hambatan Opik berkomunikasi secara verbal.
Faisal Rusdi,
penyandang cerebral palsy lainnya menekuni bidang seni yaitu melukis. Beruntung
Faisal bisa bergabung dengan Asosiation Mouth and Foot Painting Art (AMFPA)
yang bermarkas di Swiss. Asosiasi pelukis difabel mulut dan kaki ini menerima
semua kiriman lukisan Aal, nama panggilan Faisal untuk direproduksi menjadi
kartu ucapan. Sehingga Aal bisa fokus menggunakan kemajuan teknologi komunikasi
untuk memperjuangkan kesetaraan teman-temannya sesama penyandang difabel.
Penyandang difabel memang tidak memiliki
kesempatan yang sama. Mereka termarjinalkan dan
terpaksa belajar di Sekolah Luar Biasa (SLB), bukan sekolah inklusi
yaitu sekolah reguler yang menerima murid berkebutuhan
khusus maupun tidak. Sejak di SLB mereka mendapat stigma ‘kemampuan
intelektual rendah, sehingga tidak bisa mengenyam pendidikan tinggi’. Mereka juga mendapat pengarahan agar menekuni
ketrampilan tanpa diketahui bakat dan minatnya. Selulusnya dari SLB, para guru
Aal menyarankan menekuni elektronik yaitu reparasi radio. “Apa guru saya nggak lihat tangan saya seperti ini?
Untuk muter obeng aja nggak bisa.”
Seiring waktu, Aal menemukan hobinya corat-coret
di kanvas. Hobi yang merupakan bakat turunan dari ibu dan pamannya. Sempat
bergabung dengan sanggar museum Barli Bandung, Aal keluar karena merasa
mendapat perlakuan diskriminatif. Kemudian belajar pada Agum, mantan guru
museum Barli. Beruntung, gurunya membuka diri untuk berbincang mengenai metode
pendidikan karena Aal menginginkan mendapat kesamaan pelajaran seperti
teman-teman non difabel.
Awal belajar melukis, Aal menggunakan tangan kiri
dan bertahun-tahun kemudian, Aal merasa nyaman melukis dengan menggunakan mulut.
“Buat mereka yang bukan penyandang difabel mungkin melukis dengan mulut
merupakan sesuatu yang unik. Padahal itu hal biasa. Kalau kita sering
melakukannya itu bukan hal yang aneh,” kata Aal.
Perjalanan Aal dan
kesehariannya bersama sang istri dengan tekun dikomunikasikan di facebook, bukan untuk mengundang decak
kagum tapi agar menginspirasi bahwa penyandang difabel bisa berkehidupan sama: menikah, bekerja,
memperoleh penghasilan, serta bepergian seperti orang lain: mengunjungi tempat
wisata, menyanyi di karaoke.
karya Rodhi Mahfur |
Kemajuan teknologi komunikasi juga membantu Rodhi
Mahfur, warga RT 1/RW 2
Dukuh Krajan Kidul Desa Lebosari Kecamatan Kangkung Kabupaten Kendal Jawa
Tengah. Akibat
kecelakaan
ketika naik sepeda motor
pada tahun 2003 silam, pria berusia 25 tahun ini hanya bisa berbaring. Terkadang
memiringkan tubuh atau duduk sebentar. Sebagian tubuhnya sudah mati rasa dan
kakinyapun mengecil, hanya terlihat tulang dan kulit. Untuk memenuhi
kebutuhan makan, minum dan sholat, Rodhi dibantu sang ibu.
Walau harus menghabiskan
keseharian di kamar berukuran 2,5x3 meter persegi, Rodhi tidak patah semangat.
Bakat melukisnya terasah dan tertuang dalam kanvas yang dipasarkan dengan
bantuan teknologi komunikasi, harganya berkisar ratusan ribu hingga jutaan
rupiah. Diapun merasa terhibur karena tetap dapat berhubungan teman-teman dan
dunia luar. Kemajuan teknologi komunikasi merubuhkan semua dinding penghalang.
Opik, Faisal dan Rodli telah membuktikan bahwa apa yang dulu tak
mungkin dilakukan penyandang difabel,
sekarang semudah sentuhan jari berkat pesatnya kemajuan teknologi
komunikasi. Dulu pastinya mereka harus didorong atau digendong kesana kemari
untuk membeli peralatan dan pameran. Kini semua peralatan bisa dipilih secara
online, pembayaranpun tidak mengharuskan mereka meninggalkan rumah.
Apa yang telah dicapai oleh mereka seharusnya dapat
menginspirasi penyandang difabel lainnya. Sudah waktunya menghapus stigma
penyandang difabel adalah beban bagi keluarga dan masyarakat, Kemampuan mereka
sama dengan warga masyarakat lainnya. Menurut badan PBB ILO, 10 persen penduduk
persen penduduk Indonesia adalah penyandang difabel dan selama ini mereka
termarjinalkan.
Penyandang difabel umumnya memang disembunyikan dari muka umum.
Mereka dianggap aib. Padahal potensi mereka sama dengan warga lainnya, yang
membedakan hanya bentuk tubuh karena itulah mereka protes jika dikatakan
sebagai penderita cacat. “Kami tidak menderita, “ kata mereka. Sesuai
keadaannya mereka hanya berbeda kemampuan, karena itu sungguh tepat penggunaan
kata difabel, singkatan Different
Ability People. Untuk menghilangkan pemaknaan negatif dari kecacatan.
Jangan lupa, Presiden
keempat Republik Indonesia, Abdurahman Wahid (Gus Dur)juga seorang penyandang difabel.
Dunia internasional memuji Gus Dur yang mampu membawa visi negaranya tentang
hidup bertoleransi, dan hidup dalam perbedaan. Langkah-langkah almarhum Gus Dur
melampaui mereka yang dibilang normal. Sudah saatnya membantu saudara kita
penyandang difabel keluar dari persembunyian,
dan menunjukkan potensi diri dengan bantuan teknologi komunikasi.
Informasi yang tertulis pada: http://www.kaisaindonesia.org/2014/09/peran-teknologi-komunikasi-bagi.html
ReplyDeleteSangat menarik,,
Terima kasih gan,,sukses selalu..
Domino 99 | Domino 99 Online | Agen Domino QQ | BandarQ | onebetqq.com