"Ah, bank sampah mah sama dengan pengepul, bedanya itu yang ngerjain ibu-ibu"
demikian komentar seorang pengepul menanggapi maraknya pendirian bank sampah di Indonesia.
Benarkah sama? Tentu saja tidak sama. Perbedaannya sangat menyolok. Bank Sampah merupakan rekayasa sosial dalam pengubahan sistem pembuangan sampah dari kumpul angkut buang menjadi pemisahan sampah sejak di hulu yaitu di rumah masing-masing.
Lebih tepatnya kegiatan Bank Sampah merupakan proses ‘pemadaman api’ bagi kebiasaan warga yang sudah kadung nyampah. Bagaimana pemecahan masalah agar timbul lifestyle baru? Itulah tantangannya.
Untunglah aktivitas anggota komunitas selalu dinamis, kegiatan baru senantiasa dicari dan diadakan agar pertemuan tiap minggu tidak membosankan.
Pada tahun 2012, saya mengajak mereka mencatat dan menjual sampah anorganiknya. Cukup lama berlangsung, sekitar 6 bulan sebab kegiatan bank sampah tidak mungkin saya lakukan sendiri di rumah. Ini kegiatan komunitas, jadi saya hanya memperhatikan dan melakukan wawancara sambil melakukan kegiatan lainnya.
Hingga akhirnya saya menyimpulkan bahwa hasil Bank Sampah bisa menjadi salah satu solusi penambah uang kas komunitas. Sebelumnya uang kas didapat dari uang kencleng atau uang patungan para anggota. Jumlahnya tidak banyak karena sesuai moto yaitu: seikhlasnya, ada yang memberi Rp 1.000, Rp 2.000 atau malah tidak sama sekali sehingga total uang kas bertambah Rp 5.000 - Rp 10.000 per minggunya. Sangat lumayan untuk biaya operasional, apalagi jika ditambah dari bank sampah.
Adanya Bank Sampah ternyata menarik minat warga masyarakat lainnya untuk berpartisipasi. Selama ini mereka sudah melihat kegiatan positif anggota komunitas tapi enggan terlibat dan atau sibuk mengurus warung. Ada juga yang beralasan sibuk merawat bayi walaupun kegiatan sambil membawa anak sangat dianjurkan agar kegiatan positif menular ke anak dengan sendirinya.
Tetapi memilah sampah dengan bujukan nabung sampah rupanya manjur. Mereka mau memilah dan mengumpulkan sampah anorganik di rumah masing-masing untuk kemudian disetorkan pada pengurus komunitas di hari pertemuan. Anggota komunitas Engkang-engkang bertemu setiap hari Selasa sedangkan anggota komunitas @kendalgedekreatif setiap hari Rabu. Keduanya memulai aktivitas pukul 10.00 pagi hingga selesai.
Karena tidak memiliki bangunan untuk menyimpan sampah, sebelum memulai kegiatan utama, kami berbondong-bondong menuju lapak pengepul untuk menimbang sampah anorganik yang telah dikumpulkan selama seminggu. Setiap keresek/ karung berisi sampah anorganik dicatat sesuai nama pemiliknya. Ketika itulah saya mengetahui bahwa pencatatan ternyata tidak se-ribet yang dibayangkan. Sampah plastik umumnya disatukan dan dinamakan emeran. Para anggota komunitas juga mendapat pengetahuan bahwa styrofoam dan plastik bekas camilan/bekas kopi yang berlapis alumunium ternyata tidak berharga/tidak laku dijual.
Sampah anorganik lainnya yang banyak dijual adalah kaleng, botol kaca, kertas duplek dan kardus. Ada penabung yang mencapai ribuan rupiah, ada pula yang hanya Rp 100, bahkan Rp 50. Semua dicatat dalam pembukuan Bank Sampah. Dirapikan sesampainya dibalai pertemuan. Komunitas Engkang-engkang menggunakan balai RW sedangkan komunitas @KendalGedeKreatif menggunakan madrasah/teras rumah sebagai tempat berkegiatan: rapat, persiapan komposting, kerajinan, membuat pangan lokal dan pencatatan Bank Sampah.
Hasil pencatatan dari buku di pindahkan ke buku tabungan yang dimiliki setiap anggota. Hal ini untuk memudahkan anggota mengetahui jumlah tabungannya. Buku yang digunakanpun cukup sederhana dan mudah didapat di toko bahkan warung karena anak-anak TK dan SD rupanya harus menabung di sekolahnya. Harganya murah, hanya Rp 500/buku.
Hikmah adanya Bank Sampah ternyata cukup besar. Kami menjadi pemulung ketika berbondong-bondong ke pengepul karena mata dan tangan ‘gatal’ ketika melihat sampah anorganik berserakan di jalan yang kami lalui.
Ibu-ibu bercerita bahwa anak mereka selalu membawa pulang plastik bekas makanan/minumannya. Kemudian dengan tertib memasukkan ke tempat yang sudah disediakan. Anggota keluarga lainnya ikut berpartisipasi mengumpulkan sampah anorganik bekas konsumsi mereka maupun yang tercecer dijalan. Proses pemilahan terjadi dengan sendirinya dari hulu (rumah tangga) membentuk suatu perubahan lifestyle secara perlahan. Sesuatu yang sangat tidak saya duga.
Kami mendapat tambahan pengetahuan mengenai jenis sampah anorganik apa saja yang bisa ditampung dan dijual. Termasuk pecahan beling kaca yang semula dianggap tidak laku, padahal jika dimasukkan ke tempat sampah berpotensi melukai tukang sampah atau siapapun yang sedang membereskan sampah.
Hikmah lain terbentuknya Bank Sampah adalah terbentuknya koperasi simpan pinjam. Setelah 3 bulan, anggota Bank Sampah aktif bisa meminjam untuk modal warung atau kebutuhan mendesak lainnya.Selain membantu anggota dalam membeli keperluan sembako, keberadaan koperasi sangat berjasa dalam melepaskan anggota yang terkena jerat rentenir.
Tetapi hikmah terbesar adalah kepedulian warga masyarakat mengelola sampah. Mereka, tua muda kaya miskin berpartisipasi memilah sampah dan perlahan-lahan mengikis stigma bahwa sampah selain kotor juga hanya layak diurus oleh strata masyarakat terendah.
Tanpa terasa kegiatan Bank Sampah sudah seperti layaknya bank konvensional yaitu ada dana terkumpul dan ada sejumlah uang yang digunakan untuk simpan pinjam hingga berputar , menambah jumlah kas. Jangan ditanya besarannya karena tentunya sangat kecil jika dibandingkan bank konvensional pada umumnya. Tetapi kegiatan oleh anggota, dari anggota dan untuk anggota ini sungguh melegakan dan membanggakan hingga saya teringat pesan pak Supardiyono Sobirin, pakar DPKLTS yang menyitir ucapan Lao Tze:
Pergi dan temuilah masyarakatmu,
Hiduplah dan tinggallah bersama mereka,
Cintai dan berkaryalah dengan mereka,
Mulailah dari apa yang mereka miliki,
Buatlah rencana dan kerjakan rencana itu,
Dari apa yang mereka ketahui,
Sampai akhirnya ketika pekerjaan usai,
Mereka akan berkata:
Hiduplah dan tinggallah bersama mereka,
Cintai dan berkaryalah dengan mereka,
Mulailah dari apa yang mereka miliki,
Buatlah rencana dan kerjakan rencana itu,
Dari apa yang mereka ketahui,
Sampai akhirnya ketika pekerjaan usai,
Mereka akan berkata:
Mereka akan berkata:
“Kami yang telah mengerjakannya!”.
“Kami yang telah mengerjakannya!”.
sumber:
Profil Bank Sampah menurut KLH
Comments
Post a Comment