Program “Gerakan
Pencetakan Wirausaha Baru” Jabar membuat saya termenung. Karena pendaftar harus
berpendidikan minimal SMP dan rentang usia
18 tahun – 45 tahun.
Pertanyaannya bagaimana
dengan lulusan SD? Sebagaimana kita ketahui, sekitar 50 % penduduk Jabar hanya
lulusan SD, data BPS tahun 2012 juga menyatakan bahwa struktur penduduk Indonesia didominasi penduduk dewasa dan produktif dari segmen umur 25-64 tahun yang mencapai 52,63 persen.
Pergeseran ke
minimal usia 18 tahun mungkin disebabkan pertimbangan
pada usia tersebut pendaftar sudah lulus SMP dan memiliki usaha sendiri.
Ya, usaha sendiri diutamakan, khususnya para wirausaha yang memiliki
diferesiansi produk. Hal tersebut terungkap ketika seorang anggota komunitas gagal
karena justru dia baru akan terjun
ke bidang UMKM.
Bukankah tagline-nya pun menyatakan “Gerakan Pencetakan Wirausaha Baru”? Bukan yang sudah memiliki usaha. Beberapa foto yang diupload oleh mereka yang berhasil lolos menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki usaha yang unik yang layak untuk dibiayai.
Bukankah tagline-nya pun menyatakan “Gerakan Pencetakan Wirausaha Baru”? Bukan yang sudah memiliki usaha. Beberapa foto yang diupload oleh mereka yang berhasil lolos menunjukkan bahwa mereka sudah memiliki usaha yang unik yang layak untuk dibiayai.
Sehingga bisa
diduga, anggota komunitas dampingan saya, gugur sebelum mendaftar. Karena terganjal
batas usia dan batas minimal pendidikan.
Untunglah mereka
warga Indonesia yang kreatif, ibu Yati contohnya.
Sebetulnya sejak
tahun 2011, awal saya mendampingi komunitas Engkang-engkang, saya selalu lewat
depan rumahnya jika berkegiatan, tapi ibu Yati tidak pernah keluar. Alasannya: “Ngga
pernah diajak”
Waduh,
ternyata saya belum paham masalah sosial yang ada di lapangan. Jangan
mengandalkan istri Ketua RW yang hanya mengajak istri Ketua RT. Jika istri Ketua
RTnya aktif ya bagus, tapi kalo ngga?
Dan itulah
yang terjadi. Usai istri Ketua RW gugur sebagai ketua yang tidak mampu memobilisasi, saya mengajak warga yang
tinggal di lingkungan RW 10 dengan mendatangi arisan demi arisan RT untuk
menjaring anggota, dan ibu Yatipun datang ke pertemuan.
Ibu Yati
istri tukang bangunan yang pemalu. Selalu
aktif dan rajin berkegiatan. Mulai urban
farming hingga kerajinan. Hebatnya ibu berusia 50 tahun ini hanya memerlukan
sedikit instruksi cara membuat kerajinan, maka dengan cepat dia akan
berkreatifitas.
Contohnya dompet
dan tas terbuat limbah kantong plastik ini.
Saya hanya memberikan trik agar hasil guntingan kantong plastik tidak terputus
hingga bisa menyerupai benang raffia yang
siap dianyam. Minggu berikutnya ibu Yati sudah membuat beraneka karya.
aneka dompet, awal hasil karya ibu Yati |
Ketika
anaknya menikah, Ibu Yati menyiapkan sendiri souvenir/cendera mata untuk para
tamu. Hebat bukan?
gantungan kunci/bros karya ibu Yati |
Beberapa
waktu lalu saya complain hasil tasnya yang hanya menggunakan bunga plastik siap
beli di toko. Beberapa alternatif kerajinan bisa dipraktekkan. Kebetulan saya hanya memiliki buku cara membuat bunga dari sedotan plastik. Berbekal buku tersebut dan beberapa bungkus sedotan, ibu Yati justru membuat bunga dari limbah kantong plastik (keresek) ini dia, taraaaaaaa………
rangkaian mawar dari limbah kantong plastik |
Mengapa ibu Yati membuat bunga mawar
dari kantong plastik? Karena limbah kantong plastik banyak banget. Pengerjaannyapun lebih mudah, lebih lentur dan warnanya lebih beragam. Bermacam warna kuning,
ungu, hijau merah, merah muda, biru, umumnya tas belanja dari toko makanan dan
toko pakaian. Sulit digunakan ulang karena bentuknya melebar,
Tahun 2013 silam, saya mendapat undangan mahasiswa FIKOM Unpad untuk menjadi narasumber sekaligus mengajak pelatih kerajinan untuk memberi contoh kerajinan berbahan baku limbah plastik. Ibu Yati saya ajak untuk melatih kaum ibu warga Jatinangor.
Terbukti kan?
Perempuan berusia 50 tahun pun bisa berproduksi dengan kreatif.
sumber :
Comments
Post a Comment