Skip to main content

Rahmat Jabaril, Sociopreneur dari Dago Pojok

sumber: twitter.com


Pernah  mendengar mengenai sociopreneur? Bukan, artinya bukan wirausahawan/pebisnis yang membagikan profitnya untuk kegiatan sosial. Pebisnis demikian lebih tepat disebut  filantropis.

Mereka menjalankan bisnis dengan target sebagian keuntungan untuk kegiatan sosial dan lingkungan, bak kelebihan makanan. Tidak heran jika dalam prakteknya, seorang filantropis acap tidak memedulikan aspek sosial dan lingkungan.

Sedangkan seorang pebisnis sosial (sociopreneur) adalah seorang yang berbisnis untuk memecahkan masalah ekonomi, sosial serta lingkungan tertentu yang dihadapi masyarakat lewat mekanisme pasar. Keberlanjutan di ketiga dimensi (profit, people, planet) tersebut, melekat pada bisnis mereka.

Salah satu diantara pebisnis sosial adalah Rahmat Jabaril. Sosok pendobrak yang berhasil mengembangkan suatu kampung kumuh di pojok Kota Bandung menjadi kawasan wisata, edukasi, dan hiburan dengan nama Kampung Kreatif Dago Pojok. Rahmat tidak saja berhasil meningkatkan taraf hidup penghuninya, tapi secara tak terduga memunculkan pebisnis-pebisnis baru.

Seorang pembuat layang-layang misalnya. Dia tidak saja bisa menjual hasil produksinya tapi juga mendapat penghasilan dari jasa pelatihan membuat layang-layang.

Kisah lainnya tentang pak Nanang yang terpaksa berjualan gorengan karena keahliannya membuat wayang golek termasuk 'madesu' alias masa depan suram. Alih fungsi tempat tinggalnya menjadi kawasan wisata membuat pak Nanang bisa berjualan wayang sekaligus menularkan kemampuan membuat wayang melalui pelatihan. Penghasilan pak Nanang tentu saja menjadi berlipat, namun yang terpenting, pak Nanang bisa mencari nafkah di bidang yang disukai, yang sesuai minatnya.

Terletak di Bandung Utara,  Dago Pojok merupakan daerah resapan air yang menjadi  incaran pengembang. Mereka melihat nilai lebih kawasan ini yaitu pemandangan indah  dan udara yang sejuk. Sehingga pembangunan berlangsung masif, demi menyediakan hunian serta kawasan komersial bagi pendatang baru Kota Bandung.

Hal tersebut menyebabkan terusiknya  rasa keadilan Rahmat Jabaril. Bukankah bangunan didirikan untuk manusia, tapi mengapa menafikannya? Setiap manusia memiliki jiwa yang tumbuh bersama kultur huniannya. Manusia juga mempunya rasa memiliki ruang yang berbeda.  Ruang yang mereka isi dengan  keunikan, hasil kreativitas dan berasal dari ide-ide. Atau dengan kata lain, sebelum ada pembangunan hendaknya pemangku kepentingan harus memperhatikan 3 dimensi yang melekat pada hidup setiap orang yaitu aspek sosial budaya, ekonomi dan lingkungan.

Karena itulah pada tahun 2011, Rahmat Jabaril membangun lingkungan huniannya menjadi kampung kreatif. Diperkenalkan setelah mengumpulkan potensi-potensi terpendam anggota masyarakatnya, 6 tahun kemudian Kampung Kreatif Dago Pojok berkembang secara mengagumkan. Tak heran, dalam salah satu episodenya,  acara Kick Andy yang prestisius pernah menayangkan kegiatan kampung yang tidak saja didatangi turis domestik tapi juga mancanegara.  

                
Siapa Rahmat Jabaril?                                     

Lahir di Bandung pada tanggal 17 Agustus 1967, suami dari Ika Ismurdyahwati ini mengawali kisah hidupnya di Ciroyom. Suatu daerah slum yang tak pernah tidur. Selama 24 jam para pedagang sayuran dan kelontong bergantian waktu berjualan dengan pedagang lainnya.  Di tempat ini pula berbagai wajah bertemu, selain para pedagang juga PSK, pencopet, pemulung, pecandu narkoba murah (ngelem/menghirup aroma lem aibon) hingga para santri. Di Ciroyom, Rahmat Jabaril tumbuh dan ditempa menjadi seniman. Tak kurang 100 sketsa  perharinya dibuat demi mengikuti instruksi para tutor.

Mungkin itu pulalah yang menyebabkan ayah dari Garcia (25 tahun), Tiffani (22 tahun) dan Gibran (20 tahun), mampu menangkap gestur kaum pendatang maupun pribumi Kota Bandung secara utuh. Seperti tutur Rahmat Jabaril, penduduk Kota Bandung sejatinya sudah berasimilasi, budayanyapun saling berakulturasi. Mereka memiliki kebutuhan yang sama akan pangan, sandang dan papan,  kebutuhan bersosialisasi serta dukungan lingkungan untuk tumbuh.

Kota Bandung sebagai kota metropolitan bak gula-gula yang dikerumuni pendatang dari seluruh penjuru negeri. Tujuan mereka boleh jadi berbeda, baik  untuk mencari nafkah, sekolah, maupun hiburan. Yang harus dipahami, para pendatang ini adalah pejuang tangguh yang penuh ide. Apabila tidak ada pengotak-ngotakan antara pendatang yang dimanjakan atau pribumi yang diusir secara halus, maka Kota Bandung akan tumbuh menjadi hunian yang sesuai visi misi Kota Bandung yaitu genah merenah tumaninah (enak, senang, nyaman).

Selasa, 10 Oktober 2017 saya berkesempatan mengobrol dengan Rahmat Jabaril mengenai Kampung Kreatif Dago Pojok. Kawasan yang berhasil membuat nyaman penghuninya, dan membuat wisatawan tertarik untuk berkunjung. Berikut petikannya:

Setelah 6 tahun, bagaimana rasanya melihat keberhasilan Kampung Kreatif Dago Pojok?

Senang pastinya. Tidak semata perubahan kesejahteraan penduduk tapi tumbuhnya rasa memiliki huniannya, lingkungannya. Juga timbulnya nilai serta ide kreatif yang ditularkan pada mereka yang datang.

Apa saja yang bisa dipelajari pendatang Kampung Kreatif Dago Pojok?

Banyak sekali. Mulai dari RT 01 ya, ada pelatihan batik tulis dan elemen estetik.

Kemudian  di RT 02, ada sablon (bukan sablon biasa ya, peserta diajak mengeksplorasi imajinasinya) demikian pula dengan layang-layang, seni patung,  ukiran kayu, perkusi, wayang, puzzle, kerajinan bunga kertas, jaipongan, silat, kaulinan barudak.

Di RT 03, ada pelatihan membatik, gondang, melukis, elemen estetik, dan musik bambu.

Di RT 07, ada sawah, beberapa kolam pemancingan milik warga yang bisa memuaskan keinginan pengunjung untuk memancing dan swafoto


Apa yang menjadi pembeda antara Dago Pojok dengan kawasan instagramable lainnya seperti Kampung Pelangi dan Jodipan Malang?
Adakah manfaat kedatangan pengunjung bagi penghuni Jodipan Malang? Berkelanjutankah? Hal-hal ini seharusnya dijawab oleh penggagas kawasan tersebut. Jangan sampai penghuni kawasan hanya menonton tingkah laku pengunjung yang berswafoto. Mereka harus terlibat karena merekalah pemilik hunian yang dicat tersebut.

Apa jadinya jika kelak ada banyak kawasan yang dicat warna-warni seperti itu juga? Tentunya wisatawan akan meninggalkan yang lama, berburu lokasi baru. Beda halnya jika sejak awal penghuni diajak berkreasi memunculkan potensinya. Mereka akan mampu membuat kawasannya tetap hidup dan berkembang.

Selain itu kawasan yang diperindah dengan cara demikian membutuhkan dana lumayan banyak . Jika tak salah milyaran rupiah hanya untuk suatu kawasan di Semarang (sumber). Wah dengan uang sejumlah itu bisa membiayai puluhan lokasi, karena warga nggak hanya mengecat tapi juga menelurkan ide-idenya. Untuk hasil karya yang ekspresif seperti ini biasanya pelaku lukisan mural mau mengeluarkan uang dari kocek pribadi.

Bagaimana dengan kawasan Kali Code Jogjakarta?

Mungkin karena waktu itu media sosial belum seheboh sekarang, ya?  Kebetulan saya juga tidak tahu apakah Romo Mangun mengajak warga Kali Code untuk mengeksplorasi ide dan kreativitasnya. Seperti yang telah saya katakan, setiap pribadi unik, setiap lokasi memiliki arsitektur yang khas.  Nah yang namanya kali/sungai tentunya punya ciri khas, entah batu-batunya, tanamannya, bangunan rumahnya.

Setiap kampung memiliki gestur dan ruang peradaban yang berbeda. Setelah para penghuni memahami, mempunyai rasa memiliki, akan tumbuh kegiatan kreatif  dan akhirnya kawasan tersebut menjadi kawasan wisata berkelanjutan yang meningkatkan kesejahteraan penghuninya.

Bicara peningkatan kesejahteraan di kawasan Dago Pojok, bagaimana mengukurnya?

Semua pusat pelatihan berawal dari ketiadaan, Pak Nanang misalnya. Walaupun memiliki keahlian membuat wayang  golek, dia terpaksa berjualan gorengan dan istrinya berjualan di pasar. Setiap harinya hanya mampu mengantongi keuntungan bersih Rp 100 ribu per hari atau sekitar Rp 3 juta per bulan.

Dengan adanya kampung kreatif dan banyak pengunjung yang ingin belajar membuat wayang, dia berpenghasilan sekitar Rp 2 juta per pelatihan. Hitung saja jika seminggu ada 2 kali pelatihan, berapa juta rupiah yang diterima pak Nanang setiap bulannya. Padahal setiap peserta hanya membayar Rp 50.000/orang, lho.

Tidak hanya pemilik sanggar, pemilik warung yang baru buka maupun pemilik lama juga kebanjiran rupiah. Contohnya Ibu Yuyun. Sebelum ada kampung kreatif, dia menjadi buruh masak. Pagi hari harus berangkat, malam baru pulang. Sekarang, dia memiliki warung makan sendiri. Sangat ramai, karena pembelinya tidak hanya tetangga, tapi juga tamu.

Bagaimana dengan Kang Rahmat sendiri? Penghasilannya juga bertambah dong?

Hahaha...., iya, saya kecipratan. Sekarang cukup membuat beberapa buah sketsa, ada uang masuk. Padahal dulu saya harus melukis hingga selesai, itupun nggak langsung laku.

((Harga lukisan Rahmat Jabaril memang tidak murah, berkisar puluhan hingga ratusan juta rupiah))

Bedanya dulu penghasilan saya hanya untuk keluarga dan 29 anak asuh saya. Sekarang bisa ikut membiayai pembangunan kampung kreatif. Kawasan ini kami bangun bersama, untuk kepentingan sarerea (semua orang).

         Semua orang bisa berpikir out of the box. Banyak orang bisa menjadi pemimpin yang mengorganisir kelompok warga masyarakat menuju perbaikan hidup. Namun hanya segelintir yang mau merealisasikannya. Karena perjalanannya tidak mudah. Penuh liku. Dan Rahmat Jabaril memilih jalan tersebut.                   


    Nah bagaimana dengan Anda? Tertarik mengikuti jejak Rahmat Jabaril?

Comments

Popular posts from this blog

Nasi Tumpeng Singkong Yang Lekker

  Nasi tumpeng singkong pesanan Kecamatan Sukajadi Siapa yang tak kenal tumpeng? Setiap syukuran rumah baru, ulang tahun, khitanan dan berbagai even lain, umumnya penyelenggara pesta menghidangkan tumpeng. Mungkin karena mudah, tidak bingung menyerasikan nasi dan lauk pauknya. Yang penting rame ketika acara motong tumpeng yang biasanya ditandai dengan menyendok puncak tumpeng dan memberikan pada seseorang yang dihormati/disayangi.  Ternyata bentuk tumpeng yang mengerucut keatas merupakan symbol agar kualitas hidup terus meningkat, sedangkan lauk pauk menjadi symbol ekosistem kehidupan alam. Itulah mungkin penyebab begitu beragamnya lauk yang tersaji di tumpeng, mulai dari urap, telur balado, ayam goreng, sambal goreng tempe, perkedel dan tentu saja tak pernah ketinggalan: “sambal!” Mengingat begitu seringnya tumpeng disajikan, kamipun memutar otak agar syukur-syukur jika suatu kali nanti mendapat order, minimal ya memperkenalkan makanan olahan singkong dalam bentu

Imas Masitoh; Perempuan Pejuang dari Kampung Cibungur

Hidup dengan kekurangan materi tidak menyurutkan langkah Imas Masitoh Resmiati untuk berbuat baik pada sesama. Penjual gorengan berusia 42 tahun ini merasa terenyuh melihat banyaknya anak yatim piatu   disekitar tempat tinggalnya.   Imas memahami betapa mereka butuh perhatian dan kasih sayang. Kebutuhan intangible yang sering tidak dipedulikan   di masa serba cepat dan instan ini. Padahal banyak diantara anak yatim piatu yang tergolong anak berkebutuhan khusus. Imaspun   akhirnya   berinisiatif mengasuh mereka. Apa yang dilakukan Imas tergolong nekad. Penghasilan dari hasil menjual gorengan dan keset hasil kerajinan tangan yang dijajakan dari rumah ke rumah, jelas tidaklah cukup. Ditambah suaminya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Rumah kecilnya juga tidak dapat menampung penghuni baru karena Imas sudah memiliki 2 anak. Namun Imas percaya, Tuhan akan membantu setiap perbuatan baik. Dan keyakinannya terbukti, bantuan mengalir. Jumlah anak yang diasuhnya bertam

Perkedel Singkong Yang Yummyyyy........

  perkedel singkong, selalu disertakan pada tumpeng singkong Awalnya hanya ajakan untuk membuat nasi tumpeng singkong, sebagai pengganti nasi tumpeng beras yang jamak ditemui diperhelatan. Ternyata salah seorang anggota komunitas, ibu Odang berkreasi membuat perkedel singkong. Rasanya? Luar biasa, yummyyy …… mungkin karena ngga bikin eneg ya? Menurut ibu Odang, singkong bisa diparut halus dahulu kemudian dibumbui, atau dikukus hingga mekar kemudian dihaluskan selagi panas. Bahan-bahannya sebagai berikut: 500 gram singkong 100 gr daging cincang 1 sendok makan margarin 3 siung bawang putih dikeprek 2 siung bawang merah diiris halus 2 lembar daun bawang Merica secukupnya Pala halus secukupnya Garam secukupnya 1 kuning telur 1 putih telur Minyak untuk menggoreng Cara membuat: 1.     Panaskan margarine, tumis bawang merah dan bawang putih yang telah diulek bersama merica dan pala. 2.     Masukkan daging cincang, masak hingga harum dan ai