“Berbeda dengan pria, perempuan mempunyai kebebasan memilih. Pilihan untuk bekerja atau tidak”.
Pendapat Umar Kayam (1932-2002) tersebut ada benarnya. Khususnya untuk
kelompok perempuan yang memiliki skill sehingga dia bisa memilih bekerja tanpa
meninggalkan tugas utamanya mendidik anak dan mengurus rumah tangga.
Tetapi bagaimana halnya dengan perempuan non skill yang ingin bekerja?
Jenis
pekerjaan yang tersedia umumnya menyita waktu karena harus “menjual
tenaga” , misalnya: pembantu rumah tangga, penjaga toko dan buruh
pabrik. Pekerjaan yang riskan karena dia harus meninggalkan anak-anaknya minimal 8 jam per harinya. Sungguh dilematis. Memilih bekerja? ….. aduh harus meninggalkan anak yang terkadang masih balita. Memilih tidak bekerja? …….
Mmm ingin mendapat penghasilan walau sedikit. Selain itu dengan pergi
bekerja bukankah seorang perempuan berkesempatan mengaktualisasi diri?
Mengingat
sebagian besar masyarakat Indonesia masih memiliki ikatan kekerabatan
yang kental, maka social entrepreneurship atau kewirausahaan social
berbasis komunitas adalah salah satu solusinya. Khususnya masyarakat yang
tinggal di pemukiman padat yang masih menomorsatukan silaturahmi,
bukan masyarakat urban yang telah terkontaminasi individualisme.
Ciri-cirinya sangat mudah, biasanya ibu-ibu ini saling membantu. Mereka
tidak sungkan berlari ke rumah tetangga untuk “meminjam” sedikit terasi
karena kehabisan ketika sedang membuat sambal. ^_^
Kewirausahaan
sosial tidak sekedar berwirausaha tetapi juga bertujuan mengatasi
permasalahan yang terjadi di komunitas. Sebagai contoh: komunitas
Engkang-Engkang dan komunitas @sukakamulyaindah mempunyai permasalahan
lingkungan yang buruk karena berada di kawasan padat penduduk. Tidak
hanya sampah yang tidak terkelola dengan baik, tetapi juga anak-anak
yang hobby jajan. Seorang anak berusia 3 tahun sanggup menghabiskan uang
jajan Rp 15.000/hari. Padahal seperti kita ketahui, jajanan warung
selain tidak menyehatkan juga diragukan bahan bakunya. Karena banyak
sekali produk jajanan bajakan merk ternama.
Untuk mengatasi permasalahan tersebut kedua komunitas berpegang pada konsep lingkaran hijau komunitas
dimana setiap kegiatan saling terkait untuk menjamin keberlanjutan
program sekaligus memberikan profit materi dan non materi bagi
anggotanya.
Kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan setiap minggunya menyangkut latihan membuat:
- Reusable bag (tas pakai ulang) terbuat dari plastik kemasan dan kain perca. Selain berguna untuk membawa hasil kerajinan, reusable bag juga dijual di pameran-pameran yang diikuti komunitas.
- Pangan non beras. Pernah melihat iklan Tukul yang berjagon ”Sudah Ganti Makanmu, Asyik Ragam Rasaku”? Sebetulnya dua komunitas ini sudah membuat dan menjual hasil pangan non beras. Baik sebagai pengganti nasi maupun sebagai camilan. Karena ibu-ibu memang terbiasa memasak sehingga piawai mengkreasikan makanan. Tidak berlebihan kiranya pernyataan bahwa di tangan para ibulah “nasib” anak bangsa. Sehebat apa anak-anak dilahirkan akan sangat bergantung baik/buruknya asupan nutrisi sang ibu dan anak balita mereka.
- Urban farming, selain berguna untuk konsumsi makanan sehat sehari-hari. Hasil urban farming juga dimanfaatkan untuk bahan baku pangan non beras. Ada juga yang menjualnya di warung karena kebetulan anggota komunitas tersebut mempunyai warung yang menjual kebutuhan sehari-hari termasuk sayur-sayuran.
- Komposting. Sampah dapur dikompos dalam kotak takakura sedangkan sampah sisa urban farming dikompos dalam komposter komunal. Kotak takakura dijual pada mereka yang enggan membuatnya. Hasil composting selain bermanfaat bagi urban farming juga berguna untuk media terrarium. Terrarium dijual sebagai cendera mata.
- Kerajinan. Hasil pemilahan berupa bekas kemasan plastik dibersihkan, dilipat dan dikreasikan menjadi beragam produk kerajinan seperti tas, dompet, tempat tissue dan tikar.
Setiap
anggota harus mengikuti semua pelatihan agar memahami proses dan
kegunaan setiap kegiatan untuk kemudian bisa menentukan pilihan. Manfaat
pertemuan yang diadakan setiap minggu selain untuk memperkuat
silaturahmi juga sangat berguna untuk mengetahui kemajuan setiap anggota
dan kegiatannya.
Setiap
kasus dibuka bersama, dipelajari untuk diperoleh solusinya. Sebagai
contoh adalah Tari, ibu seorang anak berumur 10 tahun. Sebelumnya dia
adalah pegawai toko kue dan coklat. Terpaksa berhenti bekerja karena
beberapa kali keguguran. Kemudian tertarik bergabung dengan komunitas
dan menetapkan pilihan untuk membuat dan menjual kue.
Prosesnya
dimulai dengan berlatih bersama anggota lainnya, kemudian berlatih
sendiri membuat kue bagi Posyandu dan pengajian. Hingga akhirnya Tari
berani memasarkan ke warung-warung dan koperasi kecamatan, mumpung warga sedang berduyun-duyun membuat e-KTP.
Modal
awal peralatan yang dimiliki Tari hanyalah mikser. Karena itu dia
mendapat pinjaman timbangan, loyang, kukusan dan kotak kue dari anggota
komunitas lain yang menekuni bidang berbeda. Hal ihwal kotak kuepun
muncul pada waktu pertemuan. Tari mengeluh kuenya keras dan tidak laku.
Penyebabnya ternyata kue buatan Tari di simpan dalam kardus kue sehingga
kue menjadi keras, biaya meningkat karena Tari harus membeli kardus
tiap hari dan memproduksi sampah! Solusi diketemukan
karena adanya pertemuan
komunitas, tanpa itu Tari pastilah masih
termangu-mangu bingung sendirian mendapatinya kuenya tidak laku.
Modal
yang dipinjamkan pada Tari hanya senilai pembelian bahan baku satu
adonan kue brownies ganyong dan satu adonan bolu kukus ubi. Bagaimana
hasilnya? Lumayan. Terkadang hasil jerih payahnya ludes terjual,
terkadang hanya laku separuhnya. Tetapi kegagalan merupakan pelajaran
tersendiri untuk menambah jam terbangnya. Karena ketika mendapat banyak
pesanan selain harus piawai membuat kue yang enak, Tari juga harus mahir
mengatur waktu. Agar urusan rumah tangga beres, pemesan kue puas.
Sejauh
ini Tari memang baru mendapat penghasilan dari penjualan ke
warung-warung, acara di kecamatan serta pengajian dan arisan. Sekitar Rp 5.000-Rp 10.000 perhari atau Rp 250.000per bulan. Tetapi ada manfaat lain yang dirasakan Tari. Pola makan anaknya berubah lebih sehat karena tiap hari mencicipi kue ibunya .
Tari
dan anggota komunitas lain yang membuat dan menitipkan kue ke warung
sebetulnya berkontribusi menyehatkan pola makan anak-anak di komunitas
tersebut. Mereka tertarik pada kue brownies bertabur
muisjes, bolu kukus berbecak ungu sehingga urung membeli jajanan “tak
jelas” dan “tak sehat”. Kue berbahan baku karbohidrat kompleks juga
mengenyangkan dalam waktu yang relative lama dibanding karbohidrat
sederhana sehingga anak-anak yang teradiksi jajan mengalihkan
perhatiannya pada mainan.
Kelebihan konsep lingkaran hijau komunitas yang diadopsi komunitas adalah “nyambung” dengan program pemerintah. Karena pada dasarnya program pemerintah sangat bagus sebagai contoh 10 program PKK, tetapi karena komunitas-komunitas seperti ini belum terbentuk , pemerintah sulit mengimplementasikannya.
Ibu-ibu
komunitas @sukamulyaindah sudah merasakan manisnya memperoleh
penghasilan lumayan besar ketika mendapat pesanan dari pihak pemerintah
kota Bandung sehubungan dengan ketahanan pangan. Mereka menyajikan
tumpeng non beras dan lauk pauknya. Tumpeng yang biasanya berbahan nasi
beras diganti singkong . Perkedelpun terbuat dari singkong . Semuanya hasil urban farming termasuk daun
kangkung dan kacang panjang yang diolah menjadi urap. Lauk pauk
lainnya? Ayam rendang, balado telur, kering tempe dan kentang serta
oseng cabe ikan asin. Hmmm………. Maknyus!!
Sedangkan makanan camilan dalam kardus kue juga berbahan non beras seperti brownies ganyong, combro, pie strawberry dan bolu kukus ubi.
Berapa
hasil penjualan yang diterima ibu-ibu tersebut? Hasil penjualan
berdasarkan pesanan seperti itu walau jarang tetapi lumayan. Dikerjakan
bersama dan hasilnya dibagi rata. Misalnya ada pesanan 8 loyang brownies
maka pengerjaan dilakukan oleh 2 orang. 1 adonan menghasilkan 4 loyang atau 48 iris. Biaya pembuatan 1 loyang kurang lebih Rp 30.000. Setiap
irisnya dijual Rp 1.250 maka penghasilan per orang (2 x Rp 48 x Rp
1.250)- (2x Rp 30.000) = Rp 60.000. Lumayan bukan, karena itu baru
hitungan 1 jenis kue.
Tidak
hanya pangan non beras. Kegiatan urban farmingpun mendatangkan
keuntungan materi dan non materi. Sang ibu bisa ber- urban farming di
sore hari sambil menunggu suami dan anak-anak pulang. Hasil urban
farming merupakan asupan gizi yang cukup dan sehat bagi keluarganya.
Karena media tanam berasal dari kompos rumah tangga dan non-pestisida.
Daun kangkung dan pak choy bolong-bolong tidak menjadi masalah, toh
untuk konsumsi sendiri atau dijual di warung. Pembelipun teredukasi
bahkan bisa membedakan sayuran hasil urban farming dengan sayuran
dipasar. “Lebih renyah dan tidak mudah busuk”, katanya.
Yang
paling fleksibel adalah waktu pembuatan kerajinan. Bisa dilakukan
sambil menunggu anak di sekolah, sambil mengobrol dengan tetangga atau
seperti yang dilakukan ibu Odang, spesialis pembuat kerajinan plastik
dan kain dari komunitas Engkang-Engkang yaitu sambil menonton televisi. Maklum anak-anaknya sudah dewasa dan bekerja.
Berapa
penghasilan pembuat kerajinan? Tidak bisa dipastikan karena kerajinan
bukan kebutuhan primer. Tetapi yang membanggakan hasil karya mereka
sudah “diekspor” ke luar negeri. Penyebabnya sederhana,
penulis menitipkan hasil kerajinan mereka ke toko buku “Reading Light”
di jalan Siliwangi, tempat ekspatriat kota Bandung menikmati buku dan
menghargai hasil karya kreativitas anak bangsa Indonesia dan membelinya.
Pada
bulan April 2012 silam, rombongan Dineke Stam dan sisters dari Belanda
datang untuk mengunjungi makam ibu Dewi Sartika , mengundang ibu-ibu anggota komunitas dan memborong hasil kerajinannya. Sehingga “ekspor”lah kita ke Belanda ……. Yuhuuu ^_^
**Maria Hardayanto**
sumber :
- Komunitas Engkang-Engkang, Kelurahan Cigadung Kecamatan Cibeunying Kaler Kota Bandung (warga bantaran sungai Cidurian)
- Komunitas Sukamulya, Kelurahan Sukagalih Kecamatan Sukajadi Kota Bandung
- Yayasan Perempuan Kaisa Indonesia
Comments
Post a Comment