“Saya sedih, marah, kecewa kepada rentenir. Karena orang seperti itu hanya memeras dan merampas hak mereka orang miskin ketika tidak mampu membayar dan mengambil segala yang mereka miliki,” (Mohammad Yunus - Grameen Bank)
Apa
yang dikatakan Mohammad Yunus, peraih nobel perdamaian pada tahun 2006 tidaklah
berlebihan. Jaringan rentenir secara masif mengintai kaum miskin, tega menyita
habis hartanya, mirip lintah yang menyedot habis darah korbannya.
Para
rentenir dengan mudah kita temui di lapak-lapak pasar tradisionil. Umumnya
mereka menagih siang hari, tatkala sebagian besar dagangan pemilik kios sudah
habis terjual. Para pemilikkios inilah objek rentenir yang menawarkan modal
dengan cara pengembalian nampak ringan karena dicicil setiap hari. Padahal jika
dihitung jumlahnya amatlah besar, bahkan terus membelit hingga si peminjam
tercekik tak mampu bernafas.
Rentenir
juga menjalankan operasinya di pemukiman padat. Berbekal rayuan manis, mereka
mencari mangsa. Begitu mangsa terperangkap maka akan sulit melepaskan diri,
mereka tak segan-segan mempermalukan hingga menyita harta benda si peminjam,
tanpa bersisa.
Situasi
seperti itulah yang saya temukan ketika mendampingi 2 komunitas padat penduduk
dengan pendidikan mayoritas hanya lulusan SD. Komunitas Sekemirung di bagian
timur Bandung dan komunitas Kendal Gede Kreatif di bagian barat kota Bandung.
Rendahnya pendidikan berimbas pada bidang pekerjaan dan tentu saja upah yang
diperolehpun minim. Bahkan tidak jarang mereka harus menganggur disebabkan sepi
order (faktor ekstern) atau sakit (faktor intern)
Karena
saya hanya memahami tentang pengolahan sampah, maka hanya pengetahuan itu
pulalah yang saya tularkan dengan keyakinan bahwa mereka kelak dapat memperoleh
penghasilan. Lebih tepatnya kedua komunitas tersebut berbasis kewirausahaan
sosial, suatu bentuk kewirausahaan yang memberikan kesempatan berperan sama besar
pada anggotanya, termasuk manfaatnya yang harus dirasakan secara adil oleh
semua anggota.
Kegiatan
pengolahan sampah juga dimaksudkan agar “ sekali mengayuh dua tiga pulau
terlampaui.”Dengan mengolah sampah, komunitas memperoleh penghasilan, otomatis
lingkungan mereka bersih dari sampah sehingga menjadi hunian yang nyaman.
Setelah
3 tahun berlalu (mulai berjalan tahun 2011), ada beberapa usaha rintisan yang
mulai membuahkan hasil, yaitu:
- Bank Sampah, hasil pemilahan sampah dijual dan masuk ke buku tabungan anggota bank sampah. Jika sampah diambil di rumah oleh pengurus maka anggota membayar fee sebesar 10 % dari jumlah penjualan sampah. Uang fee tersebut masuk kas bank sampah.
- Koperasi Simpan Pinjam. Modalnya berasal dari uang tabungan nasabah bank sampah. Setelah 3 bulan, nasabah boleh meminjam dengan membayar fee sesuai kesepakatan. Uang tersebut menambah modal koperasi yang berarti memberi lebih banyak kesempatan warga lainnya untuk meminjam.
- Kerajinan. Terdiri dari kerajinan sampah plastik (tidak berharga di bank sampah karena dilapisi alumunium) dan sampah kain. Hasil penjualan menjadi milik pembuat setelah menyisihkan uang (10 -20 % dari harga jual/sesuai kesepakatan)ke kas kerajinan.
- Sayuran hasil berkebun. Setelah hasil penjualan sayuran dan bunga potong masuk kas berkebun, sejumlah pengeluaran dibukukan untuk modal berkebun dan menambah modal koperasi simpan pinjam. Salah satu alasannya karena anggota komunitas membutuhkan modal untuk mengolah pangan lokal sesuai pesanan.
- Usaha kuliner. Sesuai pesanan, anggota mengolah pangan lokal berbahan baku non terigu dan hasil berkebun. Pendapatan langsung dibagikan ke anggota yang menerima /memenuhi order pangan lokal dengan menyisihkan 20 % untuk kas kuliner.
Benang
merah yang menghubungkan kelima usaha ini adalah sebagai berikut :
Warga
memilah sampah menjadi sampah organik dan anorganik:
- Sampah organik diproses menjadi kompos media berkebun, hasil berkebun adalah sayuran yang dijual langsung ke pembeli (warung/anggota kelompok sendiri) atau diolah menjadi pangan lokal seperti cake wortel, cake bayam, pizza singkong dan lain-lain.
- Sampah anorganik yang bisa diterima/dihargai bank sampah
- Sampah yang ditolak bank sampah tapi masih bisa diolah menjadi kerajinan
- Sampah yang tidak bisa diolah atau dijual ke bank sampah. Artinya ya tetap harus dibuang ke TPS, contohnya wadah plastik ‘Astor’ palsu ini, jenis plastik yang digunakan adalah PVC yang selain tidak bisa direcycle tapi juga membahayakan tubuh. Jenis lainnya adalah styrofoam, jenis plastik yang masa punahnya tak terhingga.
Sungguh
membanggakan melihat kelima usaha rintisan ini karena dibentuk dengan swadaya.
Kami udunan (patungan) ketika harus berlatih membuat kue misalnya, ibu A
membawa telur, ibu B membawa mentega, ibu C gula dan seterusnya, setelah kue
matang dipotong-potong untuk dinikmati bersama sekaligus dikritik agar rasa kue
berikutnya lebih lezat.
Demikian
pula bank sampah, hanya berbekal buku-buku bekas anak-anak sekolah milik
anggota komunitas untuk mencatat,
sedangkan buku tabungan seharga Rp 500 dibeli di warung dan dibebankan
pada setiap anggota bank sampah. Sekitar setahun yang lalu barulah buku bank
sampah diterbitkan oleh pihak terkait itupun hanya beberapa buah yang kami
terima.
Khusus
pembelian barang yang berharga mahal atau sulit didapat, barulah saya
mengeluarkan uang dari zakat yang seharusnya saya bayarkan tiap bulan. Tidak
banyak karena harus dibagi ke beberapa kegiatan di 2 komunitas.
Ternyata
begitu banyaknya manfaat yang didapat dengan terbentuknya komunitas
kewirausahaan sosial diantaranya:
- Anak – anak komunitas belajar bertanggung jawab terhadap sampah yang dihasilkannnya dan menjaga kebersihan lingkungan. Semakin dini mereka mengenal konsep lingkungan yang berkelanjutan, semakin baik.
- Anak-anak belajar mengenal beragam pangan lokal. Junkfood menyerbu bak virus hingga pelosok kota mengakibatkan anak-anak abai bahkan tidak sempat mengenal makanan sehat. Dengan adanya komunitas ini anak-anak tertarik mengonsumsinya karena pangan lokal disajikan menarik dalam bentuk nugget sayuran atau pizza singkong.
- Mengurangi pengangguran karena celah mencari nafkah yang dulu tak terpikirkan sekarang terbuka walau awalnya rupiah yang dihasilkan tidaklah besar.
- Lingkungan komunitas tidak saja bersih tapi juga hijau. Beragam tanaman hias berebut lahan dengan sayuran memenuhi jalan-jalan sempit tempat anggota komunitas berdomisili.
- Rencana ke depan dibutuhkan agar manfaat kegiatan dirasakan oleh lebih banyak warga masyarakat lainnya, bahkan diharapkan mereka ikut mengambil peran seperti:
- Ikut bergabung menjadi anggota bank sampah, atau menyumbang limbah kemasan (selama ini ada beberapa anggota pengajian di luar komunitas yang menyumbang) dan atau ikut menyumbangkan zakatnya pada badan pengelola zakat terpercaya, contohnya Lazismu. Karena zakat yang dikumpulkan digunakan untuk pemberdayaan masyarakat, kesehatan, pendidikan, lingkungan dan lain lain.
- Ikut menanamkan modal dengan kesepakatan bagi hasil yang saling menguntungkan misalnya setiap keuntungan dibagi 40 % untuk pemilik modal, 40 % untuk anggota yang memenuhi order/pesanan dan 20 % masuk kas komunitas. Setiap akhir periode, komunitas membuat laporan keuangan untuk pertanggung jawaban sehingga siapapun bisa recheck aktivitas/ transaksi keuangan yang terjadi.
- Membantu pemasaran baik offline maupun online. Dengan adanya pemasaran yang dirancang dan dikelola professional maka diharapkan omzet penjualan akan bertambah besar. Sumber daya manusia sudah ada yaitu anggota Ikatan Remaja Masjid (Irmas) dan Tarka, mereka sedang menunggu pelatihan dari Commonroom Network, suatu organisasi nirlaba yang selama ini banyak membantu dalam hal pelatihan. Rancangan pemasaran yang jitu tidak saja membantu komunitas tetapi juga diharapkan dapat mengatasi pengangguran terselubung yaitu anak-anak putus sekolah.
Kemiskinan
merupakan akar masalah lain seperti kecemburuan sosial, pengangguran, gizi
buruk, rendahnya pendidikan hingga tingginya angka kematian. Dengan membentuk
komunitas kewirausahaan sosial diharapkan banyak masalah teratasi. Karena itu
saya sangat berharap agar 2 komunitas ini maju dan berkembang sehingga dapat
menjadi model yang dapat diduplikasi. Beberapa rencana kedepan yang diharapkan
terwujud, yaitu:
- Menyewa lahan untuk lokasi bank sampah. Beberapa anggota bank sampah sering menyetor sampah diluar waktu yang ditentukan. Sehingga sampah terkena hujan atau mengotori rumah salah seorang pengurus bank sampah, ditakutkan hal tersebut menimbulkan masalah sosial lain. Dengan adanya lahan, tidak saja mengatasi masalah juga agar sampah bisa dibersihkan dahulu sebelum dijual kembali. Sebagai perbandingan sampah yang masih tertempel label dihargai Rp 2.000/kg, harganya melonjak menjadi Rp 6.000/kg jika label pada sampah kemasan dilepas dan dibersihkan.
- Lahan kosong di pemukiman padat amat terbatas, komunitas berencana menanami lahan terlantar di pemukiman lain dengan tanaman seperti ubi, singkong, talas dan ganyong. Selain karena tanaman tersebut sering dibutuhkan untuk memenuhi pesanan, juga untuk meminimalisir kecemburuan yang timbul pada warga lain. Umumnya mereka bekerja sebagai tukang bangunan/tukang sampah/pengangguran terselubung lainnya, dan merasa tidak pas masuk dalam kegiatan yang telah ada. Sehingga diharapkan alternatif kegiatan semakin banyak.
- Membangun perpustakaan bagi peserta PAUD. Di dalam wilayah tinggal anggota komunitas selalu ada kegiatan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Selama ini anak-anak PAUD turut serta menjadi anggota bank sampah baik atas namanya maupun orang tua mereka. Selain itu mereka aktif dalam gerakan pungut sampah (GPS) pada setiap Jumat. Juga pencicip makanan lokal yang diolah ibunda mereka. Pemberian vitamin ilmu lain yang belum diberikan adalah buku bacaan. Untuk itu kami berencana membangun perpustakaan karena ada ruangan kecil disamping madrasah tempat anak-anak PAUD belajar.
Ternyata
target awal komunitas luput dari jangkauan. Mereka berharap bisa memenangkan
kejuaraan Bandung Green and Clean, suatu program lingkungan dan penghijauan
yang diselenggarakan pemerintah Kota Bandung dan Unilever. Jangankan menang,
kini konon penyelenggaraannya dihentikan. Walau demikian kegiatan komunitas
dalam memilah dan mengolah sampah tetap berlanjut karena anggota yang terlibat
telah merasakan manfaatnya. Tidak hanya untuk menopang nafkah tapi juga
mengedukasi masyarakat dan memelihara lingkungan sehingga asri dan nyaman
sebagai kawasan hunian.
Jargon
mereka sangat tepat yaitu “Hidup Adalah Udunan” , suatu slogan yang banyak
digunakan komunitas di kawasan Bandung untuk menghimpun kekuatan demi
tercapainya tujuan bersama. Karena itu kami menghimbau: “Yuk udunan (patungan)
untuk warga masyarakat lain.” Udunan tidak harus selalu dalam bentuk uang tapi
bisa juga tenaga, waktu dan ilmu. Komunitas ini telah membuktikan bahwa dengan
patungan, ada banyak hal yang bisa dilakukan, ada banyak anggota masyarakat
yang terbantu. Karena kita adalah bangsa Indonesia yang memiliki budaya gotong
royong, budaya yang wajib dilestarikan.
Comments
Post a Comment