Hidup dengan kekurangan
materi tidak menyurutkan langkah Imas Masitoh Resmiati untuk berbuat baik pada
sesama. Penjual gorengan berusia 42 tahun ini merasa terenyuh melihat banyaknya
anak yatim piatu disekitar tempat
tinggalnya. Imas memahami betapa mereka
butuh perhatian dan kasih sayang. Kebutuhan intangible yang sering tidak
dipedulikan di masa serba cepat dan
instan ini. Padahal banyak diantara anak yatim piatu yang tergolong anak
berkebutuhan khusus. Imaspun
akhirnya berinisiatif mengasuh
mereka.
Apa yang dilakukan Imas
tergolong nekad. Penghasilan dari hasil menjual gorengan dan keset hasil
kerajinan tangan yang dijajakan dari rumah ke rumah, jelas tidaklah cukup.
Ditambah suaminya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Rumah kecilnya
juga tidak dapat menampung penghuni baru karena Imas sudah memiliki 2 anak.
Namun Imas percaya,
Tuhan akan membantu setiap perbuatan baik. Dan keyakinannya terbukti, bantuan
mengalir. Jumlah anak yang diasuhnya bertambah. Jika pada tahun 2012 Imas
mengasuh 7 anak yatim piatu kini sejumlah 130 anak berhasil dihimpunnya. Walau
hanya 22 anak yang tinggal bersamanya, karena rumah senilai Rp 700.000/tahun
yang berhasil dikontraknya, sangat sempit, hanya seluas 5 x 8 meter persegi.
Selebihnya dititipkan pada kerabatnya di Kabupaten Bandung Barat dan Cimahi
Barat. Secara periodik, Imas mengontrol mereka satu persatu.
“Saya yakin, semua ini
tak terlepas dari campur tangan Yang Maha Kuasa, sehingga semua yang rasanya
tidak mungkin ternyata bisa dilalui”, ujar Imas.
Kini Panti Asuhan
Raudhatul Amanah dibawah pimpinan Imas Masitoh dengan mudah ditemukan
pengunjung. Bangunan yang terletak di Kampung Cibungur, Desa Batu jajar Timur,
Kecamatan Batujajar, Kabupaten Bandung Barat nampak menyolok dengan warna warni
meriah. Juga playground dan spanduk besar bertuliskan legalitas panti. Semua
itu merupakan hasil bantuan banyak orang yang tergerak hatinya melihat
perjuangan Imas.
Raudhatul Amanah berarti
taman anak-anak yang diamanahkan. Sesuai pemahaman Imas bahwa setiap anak adalah
amanah. Termasuk anak yatim piatu. Jika tidak ada orang mau menerima tersebut,
Imas maju sebagai pengemban amanah.
Apa yang dilakukan tak
lepas dari keteladanan ayahnya, Udung Rasmita yang babat alas untuk membangun sekolah yang kini bernama SDN Cibungur.
Bangunan sekolah yang semula hanya satu kelas,
perlahan bertambah. Jumlah gurupun demikian. Awalnya hanya Udung Rasmita yang
mengajar, disusul istrinya kemudian guru
lain bermunculan.
Demikian pula dalam
penerimaan murid, Udung harus mencari murid
hingga masuk ke sawah tempat mereka membantu orang tua atau sekedar bermain.
Sering Udung harus memandikan dan menyeboki murid-muridnya tersebut.
Kepioniran Udung Rasmita
dalam bidang pendidikan di kampung Cibungur, rupanya
membekas pada ingatan Imas kecil. Sehingga walau banyak rintangan harus
dilalui, Imas tak gentar. Ada yang mencemooh Imas sebagai orang tak waras.
Bahkan tetangganya sering mengamuk dan mengatakan aktivitas Imas sebagai tak
halal.
Kekurangan finansial
juga kerap menerpa. Membuat Imas sering harus menjual rongsokan, seperti botol
dan kertas bekas. Pernah juga Imas terpaksa mengajak para pengurus Panti Asuhan
Raudatul Amanah yang bekerja secara sukarela, untuk patungan. Mereka
mengumpulkan beras dan lauk pauk agar anak-anak yatim terjamin makannya.
Saya berkesempatan
bertemu dengan Rio, salah seorang anak yatim yang datang untuk dititipkan pada Imas. Rio datang bersama pamannya. Dia
termasuk anak berkebutuhan khusus, Rio yang telah ditinggal mati ayahnya
mengalami kesulitan belajar, juga
kesulitan berinteraksi dengan lingkungannya. Ibunya angkat tangan, tak
paham cara mengasuh Rio. Sementara pamannya mengeluh sibuk, tak mampu mengurus Rio. Beruntung ada
Imas dan panti asuhan Raudatul Amanah yang siap mengasuh dan membimbing Rio
agar bisa bersosialisasi seperti anak-anak yang lain.
“Anak sulung saya dulu
seperti Rio”, kata Imas,
“Bahkan tubuhnya lumpuh.
Bertahun-tahun saya rawat. Sekarang Alhamdullilah normal”, sambung Imas sambil
menunjuk anak sulungnya yang duduk di atas sepeda motor. Kawasan kampung
Cibungur tidak saja terjal, juga tidak ada angkutan umum yang melayani
kebutuhan transportasi penduduk setempat. Sehingga tak heran banyak anak
tingkat Sekolah Menengah Pertama (SMP) lalu lalang mengendarai sepeda motor.
“Saya berani mengurus
Rio karena punya pengalaman merawat si sulung”,
lanjut Imas. Dia juga menjelaskan bahwa ada
2 orang guru yang berjanji akan merawat dan mengawasi tumbuh kembang
Rio. Selain orang disekelilingnya yang mau membantu jika diminta, Imas
bersandar pada sosok sang suami, Agus
Suryana yang selama ini mendukung dan ikut mengasuh anak-anak yatim.
Cobaan tak henti datang
menerpa. Imas terserang stroke ringan
pada tahun 2017, hingga harus dirawat di RS Dustira Cimahi. Namun semua itu tak
menyurutkan langkahnya. Niat dan semangat Imas
mampu mengalahkan tubuhnya yang
ringkih. Bahkan Imas mempunyai mimpi
membangun pondok pesantren bagi anak-anak duafa agar menjadi pribadi yang
soleh, mandiri dan sukses.
“Setiap waktu adalah
perjuangan berat karena saya ini orang bodoh. Saya hanya tamatan SMA dan orang
miskin”, kata Imas.
Bagaimana nasib
anak-anak yatim tanpa Imas Masitoh? Sulit dibayangkan. Sosok ini begitu penuh
kasih dan total dalam merawat mereka.
Mengajar mengaji, menghafal surat-surat Al Quran, membacakan dongeng, belajar
membuat kerajinan serta tugas pengemban amanah lainnya.
Imas Masitoh Resmiati nampaknya hanya perempuan sederhana, namun dia memberi pelajaran berharga bahwa jangan menunggu kaya untuk memberi
kepada sesama. Karena Tuhan Maha Penolong.
Comments
Post a Comment