http://bandungreview.com/articles/view/1063/spesial-kartini-maria-hardayanto-komunitas-menulis-membuat-lebih-hidup
Spesial Kartini: Maria Hardayanto, Komunitas & Menulis Membuat Lebih Hidup
Selalu
ada hikmah di balik setiap kejadian. Rasanya pepatah itu tepat
disematkan pada sosok aktifis di bidang lingkungan, Maria Hardayanto.
Awalnya adalah peristiwa “Bandung Lautan Sampah”, 2005. Sebuah julukan yang tidak enak di dengar, mengingat Bandung sebelumnya selalu identik dengan slogan “Berhiber”-nya, bersih, hijau, dan berbunga. Saat itu, timbunan sampah terlihat di mana-mana. Bau menyengat pun nyaris menjadi ‘pemandangan’ sehari-hari warga kota. Beberapa media cetak menyatakan, realitas ini terjadi sebagai dampak dari longsornya TPA Leuwi Gajah yang terletak di perbatasan Cimahi dan Bandung. Akibatnya, sampah-sampah yang dihasilkan warga menumpuk di TPS atau dibiarkan di pinggir jalan.
“Pola pikir saya saat itu masih seperti yang lainnya. Sebuah mesin bisa menyelesaikan masalah,” tutur perempuan kelahiran 3 Juli 1961 ini. Mesin yang dimaksud adalah pembangkit listrik tenaga sampah, yang saat itu dinilai banyak pihak termasuk walikota bisa mengatasi permasalahan lingkungan ini.
Belakangan, Maria yang akrab dipanggil ‘Bunda’ ini baru menyadari permasalahannya bukan pada ketidakadaan mesin untuk mengolah, melainkan lebih pada gaya hidup masyarakat sebagai para penghasil sampah-sampah tersebut. Ia pun banyak membaca dari koran, khususnya sebuah media lokal yang banyak memuat tulisan Otto Soemarwoto (alm) mengenai gaya hidup. “Dari situ saya jadi tahu bahwa sampah bisa diolah misalnya dengan komposter atau dibuat menjadi kerajinan,” jelasnya.
Setelah putri bungsunya beranjak dewasa, Bunda Maria memutuskan beraktifitas di luar rumah, mengatasi masalah sampah ini. Minatnya yang tinggi pada lingkungan membuat ibu dari empat orang anak ini nekat ‘mendekati’ beberapa sekolah di lingkungan tempat tinggalnya untuk mengajari cara memilah sampah pada anak-anak SD. “Saya ajak mereka memisahkan sampah dengan kotak takakura,” cerita Bunda Maria. Dengan demikian, ia berharap gaya hidup ramah lingkungan bisa terbawa sampai anak-anak itu tumbuh dewasa kelak.
Selesai dengan anak-anak tidak membuat Bunda Maria cepat puas. Ia pun mencari komunitas yang bisa dijadikan acuan tentang pemilahan sampah ini. Sayangnya, saat itu Indonesia belum memiliki komunitas yang dianggap bisa menjadi contoh penerapan gaya hidup hijau dan bersih. Kini, ia menjadi pendamping sekaligus pembina dua komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, Engkang-engkang dan Sukamulya Indah. Jika Engkang-engkang berlokasi di sekitar tempat tinggalnya, Sukamulya Indah justru perlu waktu sekitar 1,5 jam untuk sekali perjalanan. Pertengahan Juli 2012, kedua komunitas ini di daulat menjadi “Kampung Percontohan Perubahan Iklim Jawa Barat”.
Dalam pendekatannya kepada ibu-ibu di komunitas, Bunda selalu menekankan bahwa masalah sampah ini sebenarnya seperti sebuah lingkaran. “Kita masak. Menghasilkan sampah (sisa proses memasak). Dijadikan kompos. Hasil pengomposan bisa digunakan untuk urban farming. Dari urban farming, hasil panennya bisa digunakan lagi untuk memasak,” jelas perempuan yang penuh semangat ini.
Selain belajar memilah sampah dan membuat urban farming, Bunda pun sesekali mengajak para anggota komunitas memasak. Bukan masakan yang rumit, melainkan menu sederhana seperti kue berbahan dasar ganyong. Melalui kegiatan ini, Bunda sepertinya ingin menanamkan bahwa bahan lokal seperti umbi-umbian pun bisa menghasilkan cemilan yang enak dan sehat. Selain harganya lebih murah, penggunaan bahan lokal adalah salah satu gaya hidup ramah lingkungan karena tidak ikut menghasilkan polusi dari kegiatan mengimpor barang.
Di rumah, Bunda sering menyempatkan waktu untuk menuliskan kegiatannya melalui sebuah situs jurnalisme warga. Selain sebagai ‘dokumentasi’ aktifitasnya, aneka tulisan tersebut juga membantunya tetap mengasah pikiran. “Walau kadang tulisannya suka nyeleneh ke mana-mana,” akunya sambil tergelak. Berkat keaktifannya menjadi pewarta warga, ia meraih penghargaan “Kompasianer of The Year 2012”.
Bagi Bunda, berkomunitas dan menulis adalah dua hal yang sangat menyenangkan. Dengan memiliki aktifitas, daya pikir tetap terasah sehingga mencegah kepikunan dini. “Bikin lebih hidup,” ungkapnya bersemangat. Ia pun tetap menjaga keseimbangan hidup dengan meluangkan waktu bersama keluarga di sela kesibukannya.
Perjuangan perempuan masa kini sudah tidak perlu senjata lagi seperti di masa lampau. Dengan berkontribusi nyata di masyarakat, bergabung di komunitas, dan berbagi melalui tulisan, perempuan sudah bisa menunjukkan partisipasinya dalam pembangunan. Hidup perempuan Indonesia! (RY)
Awalnya adalah peristiwa “Bandung Lautan Sampah”, 2005. Sebuah julukan yang tidak enak di dengar, mengingat Bandung sebelumnya selalu identik dengan slogan “Berhiber”-nya, bersih, hijau, dan berbunga. Saat itu, timbunan sampah terlihat di mana-mana. Bau menyengat pun nyaris menjadi ‘pemandangan’ sehari-hari warga kota. Beberapa media cetak menyatakan, realitas ini terjadi sebagai dampak dari longsornya TPA Leuwi Gajah yang terletak di perbatasan Cimahi dan Bandung. Akibatnya, sampah-sampah yang dihasilkan warga menumpuk di TPS atau dibiarkan di pinggir jalan.
“Pola pikir saya saat itu masih seperti yang lainnya. Sebuah mesin bisa menyelesaikan masalah,” tutur perempuan kelahiran 3 Juli 1961 ini. Mesin yang dimaksud adalah pembangkit listrik tenaga sampah, yang saat itu dinilai banyak pihak termasuk walikota bisa mengatasi permasalahan lingkungan ini.
Belakangan, Maria yang akrab dipanggil ‘Bunda’ ini baru menyadari permasalahannya bukan pada ketidakadaan mesin untuk mengolah, melainkan lebih pada gaya hidup masyarakat sebagai para penghasil sampah-sampah tersebut. Ia pun banyak membaca dari koran, khususnya sebuah media lokal yang banyak memuat tulisan Otto Soemarwoto (alm) mengenai gaya hidup. “Dari situ saya jadi tahu bahwa sampah bisa diolah misalnya dengan komposter atau dibuat menjadi kerajinan,” jelasnya.
Setelah putri bungsunya beranjak dewasa, Bunda Maria memutuskan beraktifitas di luar rumah, mengatasi masalah sampah ini. Minatnya yang tinggi pada lingkungan membuat ibu dari empat orang anak ini nekat ‘mendekati’ beberapa sekolah di lingkungan tempat tinggalnya untuk mengajari cara memilah sampah pada anak-anak SD. “Saya ajak mereka memisahkan sampah dengan kotak takakura,” cerita Bunda Maria. Dengan demikian, ia berharap gaya hidup ramah lingkungan bisa terbawa sampai anak-anak itu tumbuh dewasa kelak.
Selesai dengan anak-anak tidak membuat Bunda Maria cepat puas. Ia pun mencari komunitas yang bisa dijadikan acuan tentang pemilahan sampah ini. Sayangnya, saat itu Indonesia belum memiliki komunitas yang dianggap bisa menjadi contoh penerapan gaya hidup hijau dan bersih. Kini, ia menjadi pendamping sekaligus pembina dua komunitas yang bergerak di bidang lingkungan, Engkang-engkang dan Sukamulya Indah. Jika Engkang-engkang berlokasi di sekitar tempat tinggalnya, Sukamulya Indah justru perlu waktu sekitar 1,5 jam untuk sekali perjalanan. Pertengahan Juli 2012, kedua komunitas ini di daulat menjadi “Kampung Percontohan Perubahan Iklim Jawa Barat”.
Dalam pendekatannya kepada ibu-ibu di komunitas, Bunda selalu menekankan bahwa masalah sampah ini sebenarnya seperti sebuah lingkaran. “Kita masak. Menghasilkan sampah (sisa proses memasak). Dijadikan kompos. Hasil pengomposan bisa digunakan untuk urban farming. Dari urban farming, hasil panennya bisa digunakan lagi untuk memasak,” jelas perempuan yang penuh semangat ini.
Selain belajar memilah sampah dan membuat urban farming, Bunda pun sesekali mengajak para anggota komunitas memasak. Bukan masakan yang rumit, melainkan menu sederhana seperti kue berbahan dasar ganyong. Melalui kegiatan ini, Bunda sepertinya ingin menanamkan bahwa bahan lokal seperti umbi-umbian pun bisa menghasilkan cemilan yang enak dan sehat. Selain harganya lebih murah, penggunaan bahan lokal adalah salah satu gaya hidup ramah lingkungan karena tidak ikut menghasilkan polusi dari kegiatan mengimpor barang.
Di rumah, Bunda sering menyempatkan waktu untuk menuliskan kegiatannya melalui sebuah situs jurnalisme warga. Selain sebagai ‘dokumentasi’ aktifitasnya, aneka tulisan tersebut juga membantunya tetap mengasah pikiran. “Walau kadang tulisannya suka nyeleneh ke mana-mana,” akunya sambil tergelak. Berkat keaktifannya menjadi pewarta warga, ia meraih penghargaan “Kompasianer of The Year 2012”.
Bagi Bunda, berkomunitas dan menulis adalah dua hal yang sangat menyenangkan. Dengan memiliki aktifitas, daya pikir tetap terasah sehingga mencegah kepikunan dini. “Bikin lebih hidup,” ungkapnya bersemangat. Ia pun tetap menjaga keseimbangan hidup dengan meluangkan waktu bersama keluarga di sela kesibukannya.
Perjuangan perempuan masa kini sudah tidak perlu senjata lagi seperti di masa lampau. Dengan berkontribusi nyata di masyarakat, bergabung di komunitas, dan berbagi melalui tulisan, perempuan sudah bisa menunjukkan partisipasinya dalam pembangunan. Hidup perempuan Indonesia! (RY)
Haturnuhun Reta , jazakumullahu khairon katsiro....... *sekedar berbagi bahwa satu gerakan kecil bisa berdampak besar.
Tags : Bandung, Bandungreview, Indonesia, BRDC, Cimahi, Memasak,
Lingkungan, Takakura, Kartini, Aktifis, Berhiber, Bunda, Bandung Lautan
Sampah, Engkang-Engkang, Ganyong, Kompasiana, Kampung Percontohan
Perubahan Iklim Jawa Barat, Leuwi Gajah, Maria Hardayanto, Otto
Soemarwoto, Sukamulya Indah, Spesial Kartini: Maria Hardayanto,
Komunitas & Menulis Membuat Lebih Hidup, Special Kartini: Maria
Hardayanto, More Alive with Community and Writing, TPA
Comments
Post a Comment