“Bu, Alhamdullilah, ayeuna mah banyak warga yang jadi anggota bank sampah karena bisa pinjam uang. Dulu pan kapaksa pinjam ke rentenir. Atuda gimana, kalo udah kepepet ya terpaksa ke mereka walau bunganya kalo ngga tepat waktu teh bakal berbunga lagi.”
Kalimat
gado-gado campuran bahasa Indonesia dengan bahasa Sunda tersebut kurang
lebih artinya yaitu Ibu Ateu sebagai ketua Bank Sampah Sukamulya Indah
sangat bersyukur dengan adanya bank sampah. Berkat bank sampah, warga
bisa meminjam uang pada saat diperlukan. Karena sebelumnya mereka
terpaksa meminjam uang pada rentenir dan terkena bunga pinjaman sangat
tinggi. Jika warga tidak mampu membayar tepat waktu maka akan dikenakan
bunga berbunga (bunga atas pinjaman + bunga) yang tentu saja sangat
memberatkan.
Keberhasilan
Bank Sampah Sukamulya Indah yang terletak di Kecamatan Sukajadi Kota
Bandung melawan rentenir sungguh diluar ekspetasi saya. Tujuan awalnya
hanya ingin mengajak warga mengelola sampah ternyata malah menemukan
masalah-masalah sosial yang selama ini hanya saya temukan di buku-buku
bacaan. Diantaranya pengangguran terselubung dan praktek rentenir yang
bagaikan gayung bersambut.
Order
pekerjaan sebagai tukang bangunan tak kunjung datang, sementara
penghasilan warung tidak mencukupi maka rentenir yang lalu lalang
menawarkan pinjaman merupakan godaan terbesar. Sayangnya godaan tersebut
sering harus dibayar mahal. Sebagai contoh seorang kepala keluarga
meminjam uang Rp 100 ribu pada rentenir. Jumlah tersebut akan berkembang
dengan cepat menjadi ratusan ribu rupiah ketika sang kepala keluarga
terlambat membayar. Kemudian dengan iming-iming untuk menambah modal
warung, rentenir menawarkan pinjaman lebih besar. Terasa logis jika
usaha warung lancar, sang kepala keluarga mendapat pekerjaan sebagai
tukang bangunan dan tidak ada seorang anggotapun yang sakit berat. Jika
salah satu tidak memenuhi maka bersiap-siaplah keluarga tersebut untuk
kehilangan rumah atau kebun milik pribadi.
Berkat
bank sampah, seorang anggota yang telah menabung kurang lebih tiga
bulan lamanya dapat meminjam sejumlah uang dengan tambahan uang fee
yang disepakati bersama. Uang fee tersebut akan menambah modal usaha
simpan pinjam sehingga tidak ada anggota yang keberatan. Pengurus maupun
anggota bank sampah mendapat kesempatan yang sama dalam meminjam uang,
karena pengurus hanya bertindak sebagi operator bukan pemilik kas bank
sampah.
Jika berkat sampah, warga terlepas dari jeratan rentenir, gara-gara sampah pula saya berkenalan dengan komunitas ini. Ya,
sampah yang awalnya membuat onar, sampah si pembuat masalah ternyata
jika dikelola dengan benar ternyata bisa membawa berkah.
Saya
ingat, ketika itu bulan Maret 2011, Bandung Berkebun akan memulai
debutnya. Sebagai pemrakarsa program Indonesia Berkebun tentunya Ridwan
Kamil (sekarang Walikota Bandung) harus menyegerakan program tersebut di
Kota Bandung, kota kelahirannya
sebelum kota-kota lain bergabung dan bertambah banyak. Untuk itu pak
Shafiq Pontoh merestui tanah kosongnya yang terletak di jalan Sukamulya
Indah untuk digarap. Tanah tersebut memunggungi kawasan Kendal Gede.
Kawasan padat penduduk yang kondisinya bagaikan bumi dan langit dengan
perumahan Sukamulya Indah. Jika di jalan Sukamulya Indah, banyak
didapati rumah seluas 200-400 meter persegi hanya dihuni 1 – 3 jiwa,
maka di kawasan Kendal Gede, bangunan seluas 20-30 meter persegi dihuni 4
– 5 kepala keluarga atau sekitar 15 jiwa.
Mungkin
ada benarnya bahwa kepadatan penduduk sering identik dengan kemiskinan.
Yang pasti banyak warga enggan membayar retribusi sampah dan memilih
membuang sampah di sebuah tanah kosong, tepat di belakang lokasi Bandung
Berkebun. Karena letak kawasan Kendal Gede lebih tinggi daripada jalan
Sukamulya Indah, maka tumpukan sampah tersebut menyolok mata hingga
terlihat dari pinggir jalan.
Rupanya itu merupakan masalah lama yang tak kunjung ada solusinya. Mumpung
ada program Bandung Berkebun, penghuni jalan Sukamulya Indah atau
tetangga di kanan dan kiri lahan Bandung Berkebun, memanfaatkan momentum
untuk mohon bantuan pada kami. Mereka sangat terganggu. Iya sih, siapa yang tidak terganggu jika tiap hari harus mencium bau sampah atau bau asap sampah yang dibakar.
Karena
tidak ada anggota tim Bandung Berkebun yang bersedia, saya mencoba
menjadi penengah. Entah berapa minggu saya habiskan waktu sore untuk
bolak balik ke Sukamulya Indah dan ke Kendal Gede. Kebingungan
mencari penyebab agar bisa memberikan solusi. Hingga akhirnya mereka
sendirilah yang menemukan solusi. Warga Kendal Gede mengusulkan untuk
membuat pagar bergembok agar para pembuang sampah yang umumnya beraksi
di malam atau dini hari tidak dapat menerobos.
Aneh ya? Ga guna dong
saya kesana? Tidak juga, dalam periode beranjangsana ke Kendal Gede,
saya menawarkan pada ibu-ibu rumah tangga yang saya temui untuk
membentuk komunitas. Semacam pemberdayaan masyarakat dengan menggunakan
bahan baku sampah. Untuk itu saya berjanji akan datang setiap minggu
sesuai hari yang ditentukan bersama untuk bersama-sama berlatih dan
melakukan kegiatan hingga akhirnya mereka mahir dan memperoleh profit.
Atau bahasa keren-nya, mengajak mereka membentuk komunitas berbasis kewirausahaan sosial.
Sebetulnya tujuan saya adalah untuk menyosialisasikan memisah sampah. Tapi tentu saja tidak bisa to the point,
mengingat masyarakat umumnya melihat sampah sebagai barang hina yang
harus dijauhi. Mereka tidak peduli bahwa sampah tersebut adalah ‘bekas’
mereka sendiri sehingga seharusnya menjadi tanggung jawab mereka.
Pilihan
awal kegiatan dicoba agar menyenangkan peserta yaitu membuat kerajinan
dari limbah kemasan kopi, kemudian dilanjut membuat kue dari singkong
dan ubi. Diselang-seling membuat kerajinan perca
untuk tas mukena, tempat tisu dan lain lain. Dilanjut ke urban
farming. Terakhir barulah saya memberi pelatihan keranjang takakura,
yaitu membuat media kompos agar mereka dapat mengompos sampah
organiknya.
Seperti
layaknya latihan/pelajaran haruslah ada ujian untuk mencapai kenaikan
kelas. Ada target yang saya berikan pada mereka, yaitu memenangkan
kejuaraan Bandung Green and Clean (BGC). Sayangnya tahun 2011 sudah
terlambat mendaftarkan mereka. Di lain pihak, sayapun merasa mereka
belum cukup mahir untuk maju sebagai peserta lomba. Karena target lomba
harus menang dong, bagaimana mau menang jika pemahaman tentang pengolahan sampah dan penghijauan belum mumpuni.
Tahun
2012, mereka mengalami nasib malang berikutnya. Tidak ada seorangpun
panitia BGC yang datang untuk melihat hasil kerja mereka. Dan gigit
jarilah kami. Tahun 2013 berlangsung pemilihan walikota Bandung sehingga
lomba BGC ditiadakan. Mungkin merupakan keputusan yang bijak mengingat
suasana yang cukup memanas, terjadi saling tarik menarik konstituen,
sementara lomba BGC merupakan lomba antar RW di 30 kecamatan Kota
Bandung.
Sebetulnya saya agak terlambat mengenalkan bank sampah pada mereka. Mungkin pertengahan atau akhir tahun 2012. Banyak
penyebabnya diantaranya karena terletak di pemukiman padat kami
kesulitan mendapatkan lahan/bangunan sebagai lokasi bank sampah. Saya
juga kebingungan menentukan standar operasional bank sampah. Ada banyak
jenis sampah yang laku dijual dan diperlukan keahlian tersendiri untuk
mengenalinya. Sebagai contoh ada 7 grade plastik, setiap grade hanya pakarnyalah yang paham dengan cara menyentuh sampah plastik tersebut.
Hingga
akhirnya saya harus melalukan strategi termudah yaitu pengumpulan
sampah di rumah masing-masing sambil mengajari anggota keluarga lain
untuk memisah sampah organik dan anorganik. Kemudian pada hari yang
ditentukan bersama (biasanya setiap hari Rabu), sampah anorganik yang
berhasil dikumpulkan tiap anggota dibawa bersama ke lapak penjualan
rongsokan untuk ditimbang dan dijual. Pencatatan buku tabungan juga
dilakukan kala itu karena setiap kantong sampah sudah disematkan nama
pemiliknya.
Dengan cara ini, komunitas tidak harus memiliki bangunan. Risikonya harga sampah yang tidak sempat dipilah sesuai grade-nya dihargai sangat murah. Ya sudahlah, toh dengan cepat kas menjadi penuh. Semakin padat penduduk rupanya semakin banyak sampah yang dihasilkan.
Kini,
tidak hanya warga sekitar yang merasakan manfaat keberadaan komunitas
bank sampah Sukamulya Indah, tetapi warga lainnya juga. Setiap bulan
dipastikan ada warga dari kecamatan lain/kelompok masyarakat/ mahasiswa
yang datang untuk mengetahui cara membentuk bank sampah atau sekedar
studi banding. Agak aneh juga ya karena bangunanpun tidak punya.
Keanehan lainnya adalah pemilihan nama Sukamulya Indah, bukan Kendal
Gede, kawasan dimana umumnya anggota komunitas tinggal. Sebetulnya nama
tersebut diambil secara acak ketika harus tampil di kecamatan. Tentu
saja dengan tujuan besar yaitu agar kelak semakin banyak warga yang
bergabung menjadi anggota bank sampah. Kemanfaatannya menjadi lintas
wilayah, tidak hanya di area Kendal Gede.
Tidak berlebihan bukan?
<a
href='http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=ad1a4b0c&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE'
target='_blank'><img
src='http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=3447&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=ad1a4b0c'
border='0' alt='' /></a>
<a
href='http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/ck.php?n=a6a780bf&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE'
target='_blank'><img
src='http://ads6.kompasads.com/new/www/delivery/avw.php?zoneid=3449&amp;cb=INSERT_RANDOM_NUMBER_HERE&amp;n=a6a780bf'
border='0' alt='' /></a>
Comments
Post a Comment