Sudah menjadi pengetahuan umum, di negeri ini fasilitas publik masih sangat jauh dari nyaman. Lihat saja, misalnya, ketiadaan jalur untuk pejalan kaki di jalan-jalan raya di penjuru kota, minimnya taman hijau, belum lagi, parahnya infrastruktur transportasi publik kita. Pernahkah terlintas di benak kita, bagaimana nasib para penyandang disabilitas di sekitar kita?
Menurut Budhi Hermanto, koordinator advokasi United Cerebral Palsy-Roda Untuk Kemanusiaan (UCPRUK), Yogyakarta, selama ini para penyandang disabilitas masih mengalami kesulitan akses untuk mobilitas mereka.
“Saya sering menemui penyandang disabilitas yang terkurung di rumah, baik itu sembunyi maupun sengaja disembunyikan oleh keluarga. Mereka tidak punya kesempatan untuk bisa kemana-mana,” jelas Budhi.
Bagi penyandang tuna daksa, kursi roda mungkin bisa menjadi solusi, mereka bisa berjalan-jalan keluar rumah. Akan tetapi, menurut pengamatan Budhi, itupun masih harus menghadapi masalah, misalnya infrastruktur jalan di kampung yang masih berbatu-batu, sulit dilalui.
Budhi berpendapat, pengarusutamaan isu disabilitas ini penting untuk diketahui oleh semua orang. “Mulai dari rumah si penyandang disabilitas, lalu lingkungan kampungnya, dan lingkungan rumah-rumah tetangga. Misalnya, ada baiknya pihak tetangga memberikan jalan miring di rumah mereka, supaya si penyandang disabilitas bisa bertamu, tanpa harus dibantu orang lain,” jelas Budhi.
Belum lagi, bicara infrastruktur transportasi publik, seperti kereta, pesawat, dan bus. “Mereka mengalami kesulitan untuk berpergian. Mau ke halte, nggak ada ram (jalan miring), atau kalaupun ada, kelewat curam. Sulit untuk naik sendiri. Kalau naik pesawat, tidak semua bandara punya garbarata. Terpaksa harus digotong,” ujar Budhi yang mengatakan, para penyandang disabilitas ini merasa tidak nyaman jika harus membuat orang lain repot.
Bagi penyandang tuli, Budhi bercerita, jika mereka menggunakan kereta, tanpa running teks yang menunjukkan stasiun tujuan, mereka akan kesulitan. Begitu pula, bagi penyandang tuna netra, saat mereka bepergian dengan pesawat, mereka tentu membutuhkan pengumuman tentang penerbangan. “Hal-hal seperti ini kelihatannya sepele bagi orang lain, tapi sangat dibutuhkan bagi kaum disabilitas,” tegas Budhi.
Isu tentang pentingnya mobilitas ini pula yang ingin disampaikan oleh Sri Lestari (41), seorang pekerja sosial penderita paraplegi yang harus hidup di atas kursi roda sejak usia 23 tahun.
Sejak mengalami kecelakaan yang membuatnya mengalami kelumpuhan dari pinggang ke bawah, nyaris selama 10 tahun Sri hanya bisa terbaring di rumah. Saat itu, dia tak hanya kehilangan kedua kakinya, tapi juga kebebasan dan kemandiriannya. Tak ingin terus larut dalam kesuraman, Sri kemudian mencoba bangkit dan kembali beraktivitas. Untuk itu, dia butuh mobilitas. Dia mengendarai sendiri motor modifikasi yang bisa memuat kursi rodanya, guna menunjang mobilitasnya.
Ingin membagi semangatnya pada sesama penyandang disabilitas, pada tahun 2013, Sri mengendarai sepeda motor modifikasinya dari Jakarta ke Bali. Tahun ini, Sri kembali bertualang, mengendarai sepeda motor modifikasinya untuk melakukan perjalanan dari Aceh hingga Jakarta.
Perjalanan yang dimulai dari Banda Aceh, 7 September ini rencananya akan berakhir di Jakarta tanggal 10 Oktober. Melintasi Sumatra sepanjang 2500 kilometer, ia akan mengunjungi keluarga-keluarga yang memiliki anggota keluarga penyandang disabilitas, untuk membagikan inspirasi dan motivasi tentang kisah hidupnya, dan membangun kesadaran tentang hak-hak kaum disabilitas.
“Masih banyaknya teman-teman penyandang disabilitas yang belum bisa keluar rumah, membuat saya ingin membagi pengalaman saya, supaya teman-teman juga bisa hidup mandiri, aktif, tetap semangat dan memaksimalkan potensi diri,” tutur putri sulung dari 4 bersaudara, dari keluarga petani, Mujiraharjo dan Suminem, asal Klaten, ini.
Dalam acara pelepasan perjalanan Sri di Banda Aceh pada tanggal 7 September 2014, United Cerebral Palsy-Roda Untuk Kemanusiaan (UCPRUK) memberikan layanan kursi roda kepada 40 penyandang disabilitas di Nanggroe Aceh Darussalam. Lewat perjalanan ini, Sri juga ingin mengetuk banyak orang untuk membantu penyediaan kursi roda bagi ribuan kaum penyandang disabilitas di seluruh Indonesia, agar mereka punya kesempatan untuk berinteraksi dengan banyak orang dan hidup secara setara.
Perjalanan ini bukan semata tentang Sri, tapi juga bisa menjadi inspirasi dan renungan bagi banyak pihak, bahwa di sekitar kita ada kaum penyandang disabilitas yang hak-haknya harus dipenuhi. Seperti Sri yang mampu membuktikan bahwa ia bisa hidup bebas dengan kursi rodanya, hal yang sama yang ia inginkan untuk semua teman-temannya. “Kami perlu dukungan dari semua pihak, supaya kami bisa berbaur dengan masyarakat umum. Beri kami kesempatan,” tutur Sri, yang berharap hak-hak penyandang disabilitas untuk bisa hidup secara aktif, bisa terpenuhi, di kota manapun mereka tinggal.
Untuk mengetahui kisah lengkap, percakapan, dan suka duka mengenai perjalanan Sri ini, kita bisa mendapatkan update-nya lewat akun Twitter @SriKlaten dan @ucpruk.
Sumber:
http://www.femina.co.id/isu.wanita/topik.hangat/kami.ingin.bebas/005/007/596
FIC
Foto: dok. UCRP
Comments
Post a Comment