Rolly dan barang dagangannya |
Seorang pemuda naik angkutan jurusan Dago - Caringin, berpakaian khas mahasiswa. Celana jeans, t-shirt dan tas ransel dipunggungnya. Yang menjadi pembeda adalah dia menenteng 6 kotak plastik transparan berisi donat aneka rasa yang diikat erat dengan tali rafia.
Rolly nama si pemuda. Mahasiswa jurusan Ekonomi Manajemen yang hendak berangkat ke kampusnya. Suatu universitas swasta di jalan Taman Sari Bandung. Biasanya 10 kotak plastik makanan dikirim langsung ke kampus untuk dijajakan kepada rekan-rekannya. Berhubung minggu ini sedang ujian akhir semester maka dia hanya mengambil 6 kotak yang dikirim ke tempat kontrakannya.
Berapa harga satu kotak donat? Untuk setiap kotak donat berisi 12 buah, Rolly harus membayar Rp 11.000. Donat tersebut dijualnya Rp 2.000/buah. Bagaimana dengan donat yang tersisa?
“Saya beli putus bu, jadi habis nggak habis ya harus dibeli. Tapi biasanya sih habis ludes. Paling tersisa 1 atau 2 buah. Saya makan aja sendiri. Atau dibagikan kepada teman yang kebetulan sedang belajar bersama”.
“Apa kiatnya supaya habis?”
“Ya, saya datengin aja kelas-kelas yang belum ada dosennya”.
“Nggak gengsi?”
“Emangnya gengsi bisa menghasilkan uang gitu, bu”,jawab Rolly seraya menyeringai.
Iya sih, buat apa gengsi. Apalagi hasil kalkulasi pendapatan Rolly sungguh menakjubkan. Tanpa modal besar, tanpa mikirin karyawan dan harga bahan baku yang melambung, Rolly mampu meraup : 26 hari kuliah x 10 boks x (Rp 24.000-Rp11.000) = Rp 3.380.000/bulan. Sekitar 3 juta rupiah perbulan bersih masuk kantong! Belum termasuk kegiatannya berjualan di hari Minggu.
Pemuda-pemuda seperti Rolly banyak bermunculan di kota Bandung. Kota yang cukup kondusif untuk kuliah sambil berwiraswasta. Ada yang tidak jaga image dengan berjualan makanan di kampusnya. Ada yang ekstrim menjadi pedagang kaki lima (PKL) memenuhi trotoar di depan mall seperti Bandung Indah Plaza (BIP) dan menyeberang di trotoar depan bangunan Gramedia, jalan Merdeka Bandung. Hasilnya lumayan, selumayan resikonya yaitu dikejar-kejar Satpol PP apabila ada “upacara” bersih-bersih trotoar.
Barang dagangannyapun beragam. Mulai dari aksesoris, kerudung, pakaian dalam dan vcd bajakan ^~^ Beberapa diantara mereka yang kebetulan mempunyai modal cukup besar patungan membuat warung internet (warnet), tempat penyewaan vcd dan dvd, hingga yang tengah marak: rumah makan dengan menu unik dan layanan siap antar.
“Sejak pindah ke Bandung, saya nggak pernah minta uang ke orang tua, bu”, kata Rolly yang mengaku dari Sumatera Barat. “Alhamdullilah, semua bisa saya tutup”.
Berapa pengeluaran Rolly per bulan? “Pengeluaran untuk makan dan ongkos angkot sekitar sejutaanlah, karena saya ngga pernah pergi jauh-jauh. Hanya dari tempat kontrakan ke kampus. Bolak-balik. Uang kuliah Rp 4 juta per semester. Uang sewa kontrakan Rp 2.500.000/tahun”, jelasnya. Wah di daerah Surapati, Bandung ada kontrakan dua juta setengah rupiah per tahunnya? Mungkin tempatnya sederhana. Yang penting cukup untuk belajar dan beristirahat.
Sayang penulis belum sempat menanyakan omzet penjualan dari hasil kerja lainnya karena Rolly harus turun di depan kampusnya dan berlari karena hampir terlambat mengikuti ujian hari itu.
Semoga sukses Rolly. Semoga menginspirasi banyak anak Indonesia yang putus sekolah karena uang sekolah yang membumbung makin tinggi. Semoga ketidak berpihakan pemerintah dengan mengkapitalisasi pendidikan akan membuat kalian semakin termotivasi untuk maju. Karena dengan lingkungan sosial budaya yang sedang terabrasi seperti sekarang, hanya jenjang formallah yang dapat diharapkan meningkatkan kualitas anak bangsa.
“Dan aku berkata bahwa kehidupan memang kegelapan kecuali ada desakan,
Dan semua desakan itu buta kecuali ada pengetahuan.
Dan semua pengetahuan itu sia-sia kecuali ada kerja” (Kahlil Gibran)
**Maria Hardayanto**
Comments
Post a Comment