Skip to main content

Pak, ......Dede Yusufnya Mana?




Pertanyaan itu terlontar begitu saja dari seorang anggota komunitas kami. Pertanyaan yang sebetulnya  biasa saja pada  Gubernur Jawa Barat, Ahmad Heryawan. Menjadi tidak biasa karena sejak awal dilantik  langkah Dede Yusuf, sang wakil gubernur kurang senada dan seirama dengan gubernurnya.  Bahkan menghadapi akhir tugas tahun 2013, Dede Yusuf nampaknya tidak mau hanya sekedar menjadi nomor dua, tetapi ingin menjadi nomor satu.

Kondisi yang dimaklumi oleh siapapun. Beberapa pihak berusaha memilih tidak membicarakan dan menganggap kedua petinggi di Jawa barat tersebut berbagi tugas sehingga jarang berbarengan dalam satu event. Demikian juga pada event hari lingkungan hidup pada tanggal 25 Juni 2012.

Tapi seorang ibu dalam komunitas kami rupanya berpendapat lain. Dia berpendapat seorang gubernur haruslah bersama wakilnya dalam tiap event. Ya, mirip dalam gambar sewaktu pemilihan kepala daerah. Sehingga  dengan lugunya dia bertanya: “Pak, …… pak Dede Yusufnya mana? Sayang, nggak ada ya”. Rupanya pak Ahmad Heryawan tidak mendengar  pertanyaan tersebut terbukti dia tidak menjawab dan asyik beramah-tamah dengan peserta event lainnya.

Situasi yang tidak menyenangkan itu langsung saya selesaikan di belakang layar.

“Bu, lain kali jangan menanyakan masalah diluar event. Ketika sedang memperingati hari lingkungan ya tanyakan saja itu. Atau tanyakan saja ke saya”.

“ Oh saya nggak tahu, kirain pak Herry selalu bersama pak Dede Yusuf”.

Untuk sesaat saya tidak mengerti siapa yang dimaksud dengan pak Herry, hingga seorang anggota komunitas  lainnya menerangkan bahwa yang dimaksud adalah pak Ahmad Heryawan. Oalah ibu, jangan nyingkat-nyingkat nama semaunya gitu atuh. Harus pakai bubur merah , bubur putih tuh. ^_^

Tapi ternyata kisah tidak berakhir hingga disini. Malamnya suami ibu tersebut menelfon dan memberondong saya dengan serangkaian teguran:

“Bu, apa salahnya istri saya menanyakan Dede Yusuf? Dede Yusuf kan wakil Gubernur, seharusnya ada disana dong!”
“ Jangan menegur istri saya sembarangan bu!”
“Masa ibu menegur istri saya didepan  bupati dan gubernur?”

Dan  seterusnya ….dan seterusnya……hingga capek rasanya saya menerangkan bahwa kesalahan adalah manusiawi. Tetapi sebaiknya kita mengontrol diri. Tidak usahlah kita banyak berbicara yang tidak perlu khususnya pada situasi dan kondisi yang tidak tepat. Apalagi  apabila kita tidak mengerti permasalahan. Saya juga menerangkan bahwa disana tidak ada bupati atau walikota. Hanya Gubernur dan SKPDnya. Bahkan empunya acara, Kepala BPLHD (Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup) Jabar , Iwan Wangsaatmaja tidak datang karena sedang mengikuti Lemhanas.  Eh rupanya tensi si bapak semakin tinggi:

“Bu, kita orang kecil. Nggak mau main politik-politikan. Kalau Dede Yusuf berbeda partai dengan Herry  ya bukan urusan kita”.

Wah…wah…………apa urusannya dengan partai?

“Pak, maaf ya. Saya juga ngga ada urusan dengan partai. Saya juga tidak pro salah seorang. Pejabat yang nggak bener akan saya bilang nggak bener. Kalau nggak percaya, saya sering menulis di Kompasiana. Kompasiana adalah bagian dari koran Kompas. Saya sering menulis ketidak setujuan saya pada SBY, Marzuki Ali, Dede Yusuf, Ahmad Heryawan, Andy Arief hingga Dada Rosada, walikota Bandung. Pokoknya semua kritik saya ada disitu.  Yang terpenting saya bukan orang partai dan nggak ingin masuk partai manapun . Silakan bapak buka internet dan cari nama saya, tulisan saya, semua lengkap”.

Upz………..sejauh itu saya bertindak. Membawa-bawa nama Kompas, maafkan saya ya petinggi Kompas …….saya benar-benar khilaf.

Cukup lama juga saya berdebat hingga akhirnya suara di ponsel si bapak terputus. Entah karena dia kehabisan argumen  ataukah karena pulsanya habis.

Tapi peristiwa ini membawa makna sangat dalam. Betapa lugunya warga. Betapa sederhananya rakyat. Mereka membayangkan seorang petinggi akan selalu tersenyum seperti di baliho-baliho yang terpampang di sepanjang jalan. Seorang pemimpin pasti selalu bersama wakilnya seperti mimi dan mituno yang akur.

Dalam bayangan mereka, pemimpin dan wakilnya akan selalu nampak serasi seperti  ketika dipilih. Tidak ada perselisihan dalam diam. Tidak ada persaingan. Kebanyakan dari warga melihat dunia hanya dalam perspektif hitam dan putih. Tidak ada coklat, biru, kuning dan merah. Karena itulah sering terjadi keributan akibat masalah sepele. Keributan yang acap dipercikkan oleh oknum tidak bertanggungjawab.

Kehidupan rakyat memang sangat jauh dari pemimpinnya. Mereka melihat pemimpin sebagai pribadi yang tak terjangkau. Sekaligus mengharapkan para pemimpin bertindak selaku teladan mereka.

Penjelasan lebih dalam saya dapatkan sesudah menelfon ketua komunitas mereka, ibu Komala.

“Gini bu, dulu di Cibogo  ada ibu-ibu yang punya kegiatan seperti ibu. Mendampingi warga, eh nggak taunya dia teh anggota partai dan anggota komunitasnya diajak milih dia”.

“Oh ya ampun ibu Komala. Saya bukan anggota partai. Dan nggak pingin jadi anggota partai. Saya cukup senang berkumpul, berkegiatan dan melihat ibu-ibu maju. Walaupun ada idealisnya, saya ingin komunitas ibu ini menjadi contoh. Menjadi prototype komunitas yang berhasil berwirausaha sosial dengan memanfaatkan sumber daya alam.”.

Kalimat penjelasan saya yang terakhir  entah dimengerti atau tidak oleh ketua komunitas. Saya memang selalu mengadakan pendekatan dengan sederhana. Tidak njlimet dan seadanya.  Tidak bisa, ya saya katakan tidak. Bahwa resep makanan  hanyalah hasil browsing di internet, saya beritahukan. Saya berpendapat bahwa penjelasan harus senatural mungkin dan biarlah anggota kelompok yang bergerak dan berinisiatif, saya hanya boleh mendampingi. 
Memberikan kisi-kisi yang tidak boleh dilanggar. Harapannya diujung keberhasilan, mereka bisa mengatakan dengan bangga: “Inilah hasil kami”. Bukan hasil pendamping mereka.

Tetapi rupanya saya terlarut pada perspektif hitam dan putih. Saya menafikan ada banyak kejadian yang pernah melukai warga, karena itu mereka cukup cerdas dan waspada. Sehingga pekerjaan rumah saya berikutnya adalah mengumpulkan warga dan memberikan penjelasan dengan gamblang mengenai apa yang saya kerjakan. Agar tidak tumbuh kecurigaan.

Pergi dan temuilah masyarakatmu, 
Hiduplah dan tinggallah bersama mereka, 
Cintai dan berkaryalah dengan mereka, 
Mulailah dari apa yang mereka miliki,
 
Buatlah rencana dan bangunlah rencana itu,
 
Dari apa yang mereka ketahui,
 
Sampai akhirnya ketika pekerjaan usai,
 
Mereka akan berkata:
 
“Kami yang telah mengerjakannya!”. 
(Lao Tzu)

Hm…….. pendapat Lao Tzu memang benar. Tapi pelaksanaannya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Catatan:
Cibogo adalah nama daerah yang termasuk dalam kecamatan Sukajadi, Bandung.

**Maria Hardayanto**

Comments

Popular posts from this blog

Nasi Tumpeng Singkong Yang Lekker

  Nasi tumpeng singkong pesanan Kecamatan Sukajadi Siapa yang tak kenal tumpeng? Setiap syukuran rumah baru, ulang tahun, khitanan dan berbagai even lain, umumnya penyelenggara pesta menghidangkan tumpeng. Mungkin karena mudah, tidak bingung menyerasikan nasi dan lauk pauknya. Yang penting rame ketika acara motong tumpeng yang biasanya ditandai dengan menyendok puncak tumpeng dan memberikan pada seseorang yang dihormati/disayangi.  Ternyata bentuk tumpeng yang mengerucut keatas merupakan symbol agar kualitas hidup terus meningkat, sedangkan lauk pauk menjadi symbol ekosistem kehidupan alam. Itulah mungkin penyebab begitu beragamnya lauk yang tersaji di tumpeng, mulai dari urap, telur balado, ayam goreng, sambal goreng tempe, perkedel dan tentu saja tak pernah ketinggalan: “sambal!” Mengingat begitu seringnya tumpeng disajikan, kamipun memutar otak agar syukur-syukur jika suatu kali nanti mendapat order, minimal ya memperkenalkan makanan olahan singkong dalam bentu

Imas Masitoh; Perempuan Pejuang dari Kampung Cibungur

Hidup dengan kekurangan materi tidak menyurutkan langkah Imas Masitoh Resmiati untuk berbuat baik pada sesama. Penjual gorengan berusia 42 tahun ini merasa terenyuh melihat banyaknya anak yatim piatu   disekitar tempat tinggalnya.   Imas memahami betapa mereka butuh perhatian dan kasih sayang. Kebutuhan intangible yang sering tidak dipedulikan   di masa serba cepat dan instan ini. Padahal banyak diantara anak yatim piatu yang tergolong anak berkebutuhan khusus. Imaspun   akhirnya   berinisiatif mengasuh mereka. Apa yang dilakukan Imas tergolong nekad. Penghasilan dari hasil menjual gorengan dan keset hasil kerajinan tangan yang dijajakan dari rumah ke rumah, jelas tidaklah cukup. Ditambah suaminya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Rumah kecilnya juga tidak dapat menampung penghuni baru karena Imas sudah memiliki 2 anak. Namun Imas percaya, Tuhan akan membantu setiap perbuatan baik. Dan keyakinannya terbukti, bantuan mengalir. Jumlah anak yang diasuhnya bertam

Perkedel Singkong Yang Yummyyyy........

  perkedel singkong, selalu disertakan pada tumpeng singkong Awalnya hanya ajakan untuk membuat nasi tumpeng singkong, sebagai pengganti nasi tumpeng beras yang jamak ditemui diperhelatan. Ternyata salah seorang anggota komunitas, ibu Odang berkreasi membuat perkedel singkong. Rasanya? Luar biasa, yummyyy …… mungkin karena ngga bikin eneg ya? Menurut ibu Odang, singkong bisa diparut halus dahulu kemudian dibumbui, atau dikukus hingga mekar kemudian dihaluskan selagi panas. Bahan-bahannya sebagai berikut: 500 gram singkong 100 gr daging cincang 1 sendok makan margarin 3 siung bawang putih dikeprek 2 siung bawang merah diiris halus 2 lembar daun bawang Merica secukupnya Pala halus secukupnya Garam secukupnya 1 kuning telur 1 putih telur Minyak untuk menggoreng Cara membuat: 1.     Panaskan margarine, tumis bawang merah dan bawang putih yang telah diulek bersama merica dan pala. 2.     Masukkan daging cincang, masak hingga harum dan ai