Tetapi bagamana dengan anak-anak usia sekolah? Apakah mereka mendapat kesempatan berkreativitas? Atau sebaliknya mendapat intruksi hingga tercetak lulusan mirip hasil pabrikan?
Penulis mendapat kesempatan dua kali ketika anak-anak tersebut asyik menggambar. Kali pertama di acara De Syukron, acara ulang tahun Jawa Barat ke 67 yang menyelenggarakan lomba menulis bertema : “Jawa Barat di Masa Depan” dan diikuti beberapa SDN ternama Kota Bandung.
Ditunjang peralatan gambar maksimal, anak- anak menggambar cukup bagus, merata hingga sudut kertas dipenuhi gambar dan warna. Tapi yang membingungkan kok Gedung Sate sih yang digambar? Ketika hal tersebut ditanyakan pada sang anak, dengan sigap ibu guru yang menemani mereka menjawab: “Kan masa depan JawaBarat, ya Gedung Sate”. Ooooooooo ……… Masa depan Jawa Barat adalah Gedung Sate ya bu? ………………………………………….#manggut-manggut tidak mengerti :P
Kali kedua terjadi sekitar 10 hari yang lalu, dalam rangka penyelenggaraan Nu-Substance Festival 2012, Common Room yang digawangi Gustaff Hariman Iskandar menggandeng seniman Netherlands : Jan Van Den Dobbelsteen dan Danielle Lemaire mengundang anak-anak bantaran sungai Cidurian Bandung.
Mereka mendapat clue : I am hero, saya seorang pahlawan. Mungkin Jan dan Danielle berharap akan mendapat banyak hasil karya yang kaya imajinasi. Sayang anak-anak setingkat sekolah dasar yang berusia 7 – 10 tahun ternyata malah kebingungan. Apakah itu berarti mereka tidak mempunyai tokoh hero dalam benaknya?
Entahlah, yang jelas mereka hanya menggambar tema “klasik”: dua gunung, satu jalan lebar yang menyempit diapit oleh sawah di kiri kanan. Hingga akhirnya tim Common Room ikut menyemarakkan suasana. Idhar (coordinator CR) mengambil krayon sebagai tools dan mulai menggambar sesuai yang dikehendaki. Krayon coklat untuk batang pohon dan pohon yang ditebang, kemudian krayon hijau,
Sedangkan Ranti (coordinator program) bermain-main dengan kertas berwarna dan pinsil warna. Pinsil warna dia goreskan membentuk pola-pola kemudian memberikan tetesan air dan menyapunya dengan kuas bagaikan sedang menggambar dengan cat air. Adisti menggambar bunga berwarna-warni.
Melihat antusiasme orang dewasa disekelilingnya, anak-anak mulai bergerak. Andi mengambil kertas berwarna dan mulai menempel serta menggambar. Mungkin dia berpikir seperti itulah seorang hero.
Berbeda dengan Andi, Katrina mulai menggambari kertasnya dengan berbagai gambar bunga. “Sekarang di depan rumahku banyak bunga”, katanya kalem. Katrina rupanya merekam perubahan yang terjadi di kawasan tempat tinggalnya. Bantaran sungai Cidurian dulu adalah area kumuh, kotor dan berdebu sehingga anak-anak kecil tak segan b.a.k dan b.a.b ditengah jalan. Air sungai Cidurian mengalir tersendat karena dipenuhi sampah, mulai sampah rumah tangga dalam kantung plastik hingga beragam peralatan rumah tangga rusak.
Tapi sekarang di setiap lahan yang memungkinkan, warga menanaminya dengan tanaman sayuran seperti tomat, cabai rawit, terong dan kangkung. Di gang-gang sempit berbagai tanaman hias berbunga, mulai dari portulaca grandiflora atau yang dikenal krokot, euphorbia, atau sekedar hijau seperti philodendron, beragam araceae dan sansieviera penyerap polutan yang tahan terhadap gangguan tikus dan jari jemari iseng.
Melihat gambar Adisti dan Katrina, beberapa anak yang semula menggambar gunung melanjutkan dengan gambar bunga dan berbagai imajinasi lainnya seperti bentuk yang tidak jelas entah pocong entah ubur-ubur. Sedangkan Aulia menggambar putri salju dan mewarnai sesuai imajinasinya.
“Semua gambar bagus. Tidak ada gambar yang jelek. Tidak ada gambar yang tidak benar. Semua gambar bagus” kata Jan dan Danielle menyemangati anak-anak sambil berkeliling.
Betul. Itu “entry point”nya. Tidak ada hasil karya yang salah. Seaneh apapun gambar itu. Anak-anak harus mendapat kepercayaan diri mengenai apa yang dilihat dan apa yang dipikirkan hingga akhirnya dia akan menemukan kebenarannya. Jadi jangan katakan jelek atau keliru ketika melihat laut dengan perahunya tapi dikejauhan nampak gunung dan pohon nyiur.
Di dunianya mereka mempunyai perspektif sendiri. Mempunyai angan, imajinasi yang awalnya tak berbentuk hingga akhirnya mengerucut pada keniscayaan.
Sore yang begitu mengasyikkan diakhiri dengan berbagai roti dan susu dalam kotak yang telah disiapkan Ranti. “Iyalah, masak saya siapkan gorengan”, jelas Ranti tersenyum manis.
Sebelum pulang, rupanya anak-anak menginginkan pensil warna dan krayon yang dibeli Common Room khusus untuk acara ini. Aduh, jumlah anak lebih banyak daripada jumlah krayon dan pensil warna. Agar adil, diadakan kuis dadakan. Pertanyaannya mudah saja misalnya : Siapa nama Presiden Republik Indonesia? Apa nama ibukota Indonesia? Apa bahasa Inggrisnya putih, hitam dan hijau. Berapa jumlah 1 + 1 dalam bahasa Ingggris?
Semua berebut, semua tertawa dan semua puas. Walau ada yang menangis karena ketika berhasil menjawab ternyata dia menginginkan yang “besar”? Apa maksudnya? Oh, ternyata dia berharap mendapat hadiah pensil warna yang ukurannya relative lebih besar daripada krayon. Sayangnya pensil warna sudah habis dimenangkan oleh anak-anak yang lebih sigap menjawab. Maka mau tidak mau dia harus menerima hadiah (krayon) sebagai sisanya.
Dunia anak memang begitu berwarna. Biarlah tetap indah berwarna. Ketika jatuh, kita hanya berkewajiban membantunya untuk berdiri dan membiarkannya berlari kembali. Tanpa perlu proteksi berlebihan yang menyebabkan anak takut melakukan sesuatu. Biarkanlah dia berimajinasi. Biarkanlah dia merasakan kegagalan. Karena itulah bekalnya menghadapi masa depan.
Hasil karya anak-anak tersebut kini bisa dilihat di pameran Transformation by Ageoleh Harm Hollestelle, berlokasi di Common Room Networks Foundation jalan Kyai Gede Utama nomor 8 bandung hingga tanggal 30 September 2012. Berdampingan dengan karya seniman besar dan para alumni Seni Rupa ITB. Agar anak-anak yang ikut berkiprah merasa bangga dan bisa berujar: “Dulu, hasil karyaku pernah dipamerkan lho”. Suatu hal yang nampak sederhana tapi amat bermakna.
Karena mayoritas anak-anak Indonesia dilahirkan ditengah keluarga berpendidikan rendah (lulusan SD/tidak lulus SD). Sehingga anganpun tak pernah singgah bahwa suatu kali gambarnya dipajang, diperhatikan dan dinikmati banyak pengunjung. Menjadi tugas kitalah untuk berpikir dan melihat dari sudut pandang mereka sebagai anak. Jangan mengaturnya sekehendak kita apalagi menyeragamkan dengan anak lainnya.
*Maria Hardayanto*
Sumber data : www.bps.go.id
Comments
Post a Comment