merubah area sampah menjadi area urban farming (dok. Maria Hardayanto)
sampah di aliran dan bantaran sungai Cidurian (dok. Maria Hardayanto)
Pemilihan nama Engkang-engkang jelas menunjukkan tujuan komunitas untuk mengembalikan lingkungannya kembali asri hingga binatang anggang-anggang bersedia hidup kembali di aliran sungai Cidurian. Angan yang mungkin terlalu muluk, tetapi bukan tidak mungkin tercapai. Karena manusialah yang merusak sungai maka manusia juga yang harus memperbaiki kerusakan.
gotong royongg menyulap area sungai walau tanahnya tidak subur (dok. Maria Hardayanto)
Setelah langkah awal untuk tidak membuang sampah ke sungai, seharusnya dilanjutkan dengan pengomposan agar 60 – 70 persen sampah tidak dibuang ke TPS. Sayangnya program pengomposan tidak semudah diucapkan, karena itu program pengomposan berbarengan dengan urban farming. Agar warga bisa mendapat dua keuntungan sekaligus : menipisnya sampah dan hasil pengomposan yaitu kompos sebagai media tanam yang menyuburkan tanaman.
Sayangnya tanah dipinggir sungai rupanya telah bercampur brangkal sisa bangunan yang dibongkar. Cara termudah membuang brangkal memang di tanah kosong atau di pinggir kali. Persis seperti kebiasaan membuang sampah.
Keberadaan brangkal di dalam komposisi tanah menyebabkan tanaman cabai berbuah sebelum waktunya , cebol enggan meninggi dan tidak berbuah lebat. Karena itu penulis membantu mengirim tanah Lembang yang konon subur.
urban farming di bantaran sungai Cidurian
di rumah dinas wakil walikota Bandung
Sehingga semua sampah organik mengendap disitu.Tetapi jangan dilupakan juga sampah anorganik khususnya limbah B3. Mulai limbah detergen hingga bekas batu baterai dibuang ke aliran sungai.
Anehnya warga tidak mempedulikan dan tetap mengambil tanah sedimen dari aliran sungai ke bantaran. Cukup tinggi dan curam untuk ukuran ibu-ibu. Tidak saya foto karena saya sungguh-sungguh tidak tega :P Semangat apa yang memotivasi mereka? Sekedar eksperimen untuk membuktikan kesuburan tanah hasil sedimen sungai atau ……… entahlah. Yang jelas tanaman bermedia tanah sedimen sungai banyak yang mati. Mungkin juga karena pada bulan Desember 2011, curah hujan masih cukup tinggi.
curamnya sungai, dan warga yang bergiliran membersihkan sungai (dok. Maria Hardayanto)
Karena mayoritas penduduk Bandung adalah kaum urban. Mulai dari perumahan mewah hingga perumahan kumuh. Jangan heran apabila banyak warga berbincang asyik dengan bahasa daerahnya yang notabene bukan bahasa Sunda.
urban farming di area terlantar dan bantaran sungai Cidurian (dok. Maria Hardayanto)
Rumah yang sumpek, panas, berdebu, terpapar polutan tinggi bukanlah suasana yang kondusif untuk hidup sehat. Sehingga adanya sepetak tanaman urban farming ini disambut gembira oleh pak Ade dan istrinya, keluarga yang tinggal di bantaran dan bekerja serabutan sebagai buruh bangunan.
dulu area tempat membuang sampah (dok. Maria Hardayanto)
Mulai dari menahan membuang sampah, mengompos untuk tanaman, menyirami tanaman walau harus mengambil air dari tempat yang cukup jauh hingga mengonsumsi hasil urban farming berupa sayuran sehat karena tidak menggunakan pupuk kimia.
Selain panganan sehat dan bergizi, ibu rumah tanggapun dapat menghemat anggaran dapur. Uang Rp 2.000 yang sedianya digunakan untuk membeli kangkung, bayam atau pakchoy kini dapat disimpan untuk keperluan lain. Hasil urban farming memang tidak harus langsung berbentuk rupiah tetapi penghematan uang sayur dan kesehatan yang terjaga bukankah terkadang lebih besar nilai nominalnya?
Sayangnya sekitar 3 bulan yang lalu, kesenangan komunitas terusik. Pemerintah kota datang membawa program “Green City”, semua tanaman urban farming dibongkar, pagar diperbaharui dan dicat. Paranet dipasang untuk menutupi sekitar 1.000 meter persegi lahan. Dannnnnnn…………………………menanami area tersebut dengan tanaman hias!!
disulap menjadi green city (dok. Maria Hardayanto)
Sakit rasanya. Lebih sakit lagi ketika mengetahui dari dana sekitar Rp 50 juta tersebut enggan dianggarkan untuk pembelian/pembuatan komposter seharga Rp 150 ribu saja. Komposter diperlukan untuk mengolah sisa tanaman, sehingga penggiat urban farming tidak harus membeli kompos lagi.
Dengan berlinang mata, penulis merangkul anggota komunitas lain yang merasa keberatan dengan keberadaan tanaman hias. “Tidak bisa dimakan”, katanya. “Tanamannya jelek-jelek, tanaman hias pinggir jalan” sahut lainnya. Penulis sependapat dengan mereka, tetapi apa mau dikata, rupanya pemerintah kota Bandung mempunyai cara yang dianggap lebih “cerdas” untuk membelanjakan uang rakyat.
**Maria G. Soemitro**
Comments
Post a Comment