Yani juga beruntung mempunyai dua anak yang lucu-lucu walaupun suaminya lumpuh kedua kakinya sehingga harus berjalan dengan bertelekan pada punggung kaki. Ketika berjalan tubuh Asep akan setinggi anaknya, Kiki yang berumur 7 tahun.
Tetapi keberuntungan Yani yang terbesar adalah dukungan keluarganya untuk sekolah dan mandiri. Karena sikap banyak pihak di luar lingkungan keluarga sangat memarjinalkan kedudukan penyandang difabel (different ability). Ada yang iseng meniru gerak kakinya yang pincang sambil membuntuti atau berpura-pura terjatuh didepan Yani.
Faktor finansial menyebabkan Yani hanya lulus Sekolah Menengah Pertama (SMP). Kemudian dia memutuskan bekerja. “Kerja serabutan yang penting halal”, katanya. Dan tekanan makin menghebat, mulai dianggap peminta sumbangan ketika sedang membawa map. Sedang asyik duduk, ………eh tiba tiba diberi uang karena dikira pengemis. Atau menanyakan arah jalan malah dikira mau mengemis dan diberi uang. Dan………………”Tidak diangkut ama sopir angkot”, katanya. Maksud Yani, sopir angkutan umum tidak mau berhenti ketika melihat yang akan naik adalah penyandang difabel. Mungkin enggan menunggu karena langkah kaki mereka umumnya tidak lincah dan cepat sedangkan si sopir harus mengejar setoran.
Semua penderita difabel, khususnya di Bandung mendapat pengalaman dan perlakuan sama. Tentu saja selalu ada pengecualian. Tidak semua orang memandang mereka seolah mahluk dari luar angkasa, dan tidak semua sopir angkot kejam.
Tetapi kondisi trotoar perkotaan yang tidak manusiawi bagi pejalan kaki terlebih untuk penyandang difabel memaksa mereka harus menggunakan jasa taksi atau “nebeng” pada tetangga ketika harus ke suatu tempat. Sungguh riskan berjalan terpincang-pincang (apalagi menggunakan kursi roda) di trotoar yang tidak rata, turun naik dengan sisa galian bercampur pot besar hasil euforia penghijauan dan tempat mangkal pedagang kaki lima. Kalaupun landai, siap-siaplah untuk beradu jalan dengan sepeda motor.
Merekapun berserikat dalam suatu wadah bernama BILIC (Bandung Independent Living Centre) yang diketuai Yati Suryadinata. Yati lumpuh kedua kakinya. Selain Yati, ada penyandang difabel lain sebagai pengurus yaitu Yu Yuen (lumpuh kaki), Aden Al Hadad (tuna daksa kedua kakinya). si cantik Siti yang bertubuh dwarf , Erna yang mengalami lumpuh kedua kaki, Enung yang mengalami multi difabel dan masih banyak lainnya. Mereka berkumpul karena menyadari bahwa tidak ada gunanya mengeluh dan menangisi keadaan. Mereka harus kompak untuk memperjuangkan perbaikan, penerapan regulasi yang telah dibuat pemerintah, peningkatan kesejahteraan hidup dan dukungan bagi sesama penyandang difabel.
Selama beberapa waktu mereka bekerja sama dengan penulis untuk mengikuti pelatihan agar mahir membuat kerajinan. Tetapi permasalahan kembali menghadang ketika mereka akan berwiraswasta. Karena berwirausaha artinya harus siap mondar mandir membeli bahan baku, bahan pembantu dan memasarkannya. Biayanya menjadi melonjak tajam karena mereka tidak bisa menggunakan angkutan umum biasa.
Akhirnya mulai tahun 2010 hingga sekarang, mereka mengambil porsi sebagai pelatih kerajinan. Salah satu bagian dari circle solusi penyelesaian sampah khususnya bekas kemasan berlapis alumunium karena barang tersebut tidak bisa didaur ulang. Sudah ribuan orang yang mereka latih. Mulai dari anak-anak sekolah hingga ibu-ibu komunitas dan tahanan serta narapidana lembaga pemasyarakatan (LAPAS) perempuan.
Beberapa anggota BILIC mendapat tugas memberi support pada penyandang difabel yang tidak pernah keluar rumah dengan berbagai alasan. Ada yang disembunyikan karena orangtuanya malu mempunyai anak penyandang difabel, adapula yang terlantar hingga buang air kecil (b.a.k) dan buang air besar ( b.a.b) ditempat tidur menyebabkan punggungnya mengalami borok yang sulit sembuh karena selalu basah.
Beberapa dari mereka mempunyai kemampuan motorik yang bagus sehingga bisa berlatih membuat kerajinan untuk dijual hasilnya dengan perantaraan saudara/ tetangga atau dititipkan pada pembimbingnya. Hasil kerajinan mereka lebih unggul. Rapi dan motifnya kaya corak. Mungkin keterbatasan membuat mereka mempunyai cukup waktu untuk fokus dan berkreasi.
Salah satu dari mereka adalah Meri, penyandang paraplegia yaitu hilangnya kemampuan untuk bergerak di bagian perut dan daerah punggung bawah. Apabila melihat sekilas, tidak ada seorangpun yang akan menyangka bahwa Meri mengalami kesulitan berbicara dan berjalan.
Hingga diusianya yang ke 22, Meri harus dipapah dalam melakukan mobilitasnya. Beruntung ibunya sabar. Dia tidak malu mengajak Meri memutari kota Bandung dengan sepeda motor agar Meri bisa refreshing dan tidak merasa bosan di rumah. Karena sehari-hari Meri hanya bisa berbaring sambil menunggu warung.
Dari atas dipannya yang tinggi, Meri melayani pembeli di warung dan membantu ibunya mengerjakan kerajinan seperti ini.
Harga asesories ini murah tetapi nilainya tinggi karena dikerjakan oleh penyandang disabilitas yang harus mengalahkan banyak rintangan. Hidup mereka berpuluh kali lipat lebih sulit daripada anak-anak sekolah yang tawuran padahal beruntung bisa bersekolah tetapi menyia-nyiakan kesempatan.
Anak-anak tawuran yang pastinya tidak pernah termarjinalkan karena mempunyai tubuh normal. “Tapi sayang pikirannya difabel” kata Angkie Yudistia, penyandang tuna rungu, CEO Thisable Associate. Memang tidak semua penyandang difabel bisa seberuntung Angkie yang mampu menyelesaikan S2. Yati Suryadinata misalnya, harus memupus keinginan menyelesaikan pendidikan di Sekolah Tinggi Bahasa Asing karena letak kelas di lantai dua sehingga setiap masuk kuliah harus digendong keatas. Suatu keadaan yang tidak menyenangkan, khususnya bagi penyandang difabel yang merasa tidak nyaman harus bergantung pada orang lain.
Tidak hanya ruang sekolah, di tempat umumpun mereka kesulitan ketika harus ke toilet. Bangunan toilet umumnya sempit, arsiteknya tidak pernah memperhitungkan bahwa suatu kali penyandang difabel memerlukan toilet.
Melihat begitu banyak hambatan yang mereka hadapi : orangtua, guru, lingkungan hingga ruang publik yang tidak bersahabat. Tetapi mereka tetap berusaha berdikari bahkan mampu memberikan ilmu pada orang lain. Bukankah seharusnya kita mengangkat topi dan mengucapkan : “Wow !”
Ah itu terlalu biasa, harusnya kita mengalungkan piagam penghargaan atas keberanian mereka menaklukkan kesulitan hidup. Tidak cengeng. Tidak melarikan diri dan mengonsumsi narkoba. Tidak juga mengeluh : “prihatin, ……… prihatin, …… prihatin”.
**Maria G. Soemitro**
Sumber data :
Kompas.com
http://sosbud.kompasiana.com/2012/10/18/katakan-wow-pada-mereka/
diterbitkan di Freez harian Kompas :
lala baru saja nemuin blog ini, n feeling so excited.
ReplyDeleteTentang bagaimana kk bisa berjuang n bertahan dengan segala keterbatasan plus memperjuangkan mereka yang lain.
aku juga ingin melakukan hal yang sama, disini. share ilmunya donk kak :)
waduh Lala, maaf baru dijawab nih, karena saya punya beberapa blog jadi masih sering bingung.
ReplyDeletesebetulnya mudah kok, Lala kuasai dulu satu keahlian sesuai minat dan bagikan, ngga harus untuk banyak orang. Cukup satu dua orang dulu tapi fokus.
Udah cuma gitu kok :)