Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai daerah
penyerapan air di perkotaan, demikian bunyi kampanye penghijauan di jalan Dr.
Junjunan yang menyapa pendatang dari arah Jakarta menuju Bandung atau sebaliknya.
Tulisan bergambar Ibu Negara, Ani Susilo Bambang Yudoyono mengusung slogan:
“Menuju Ketahanan Pangan dan Meningkatkan Perekonomi Keluarga”.
Mungkin pembaca
akan mengernyit kurang paham. Bagaimana implementasinya? Karena biasanya tanaman RTH selalu didominasi
tanaman hias yang dipilih Dinas Pertamanan dan Pemakaman dengan alasan mudah
dirawat, cukup memberi pupuk dan
menyiram secara berkala.
Padahal
masyarakat bisa berkontribusi dengan berkomunikasi dengan pihak terkait.
Taman-taman kotapun bisa berubah menjadi tempat bermain dan lahan urban farming
dimana selain tanaman hias bisa ditanami beberapa sayuran, misalnya tomat, terong,
cabe atau sawi. Takut terkena polutan? Pilihannya juga beragam seperti
singkong, kentang, bit, wortel dan ubi jalar.
Dinas Pertamanan
dan Pemakaman dengan sukacita akan menyambut setiap komtribusi warga, karena
mereka pasti akan kewalahan memelihara tanaman sayuran yang membutuhkan
perhatian ekstra. Karena itu ketika alumni ITB ’90 mengajukan taman ramah anak,
mereka langsung mengapresiasi.
Jadi mengapa
tidak mencoba mengelola taman di depan rumah atau lahan sempit milik sendiri?
Lebih mengasyikkan lagi apabila mengelola bersama komunitas. Agar semangat
menghijaukan lingkungan selalu terpelihara. Kemudian membuat Gerakan Hijau
Komunitas yang membentuk lingkaran hijau.
Lingkaran
Hijau? Apa maksudnya? Lingkaran Hijau adalah suatu lingkaran yang memiliki
keterkaitan. Pelaku kegiatan lingkungan otomatis mengerjakan kegiatan-kegiatan
yang saling berkaitan dan saling menguntungkan karena dibutuhkan oleh kegiatan
selanjutnya. Mereka juga merasakan mendapatkan profit yang membuat
mereka enggan meninggalkan aktivitas tersebut.
Sebagai contoh
adalah apa yang telah dikerjakan komunitas Engkang-engkang, suatu komunitas di
bantaran sungai Cidurian. Komunitas ini berkegiatan setiap minggu, diikuti
ibu-ibu rumah tangga dan anak-anaknya. Tidak menutup pintu untuk anak muda,
sayang belum banyak yang tertarik.
Apa saja yang
dikerjakan?
- Mengolah hasil urban
farming sehingga
bernilai tinggi. Contohnya singkong diolah menjadi tumpeng nasi singkong,
perkedel singkong, urap daun singkong/daun kangkung, rendang ayam dan
sambal. Tidak hanya dikonsumsi sendiri. Tumpeng nasi singkong ini
berpotensi untuk dipasarkan. Harganya melonjak lebih tinggi dibandingkan
apabila yang dipasarkan adalah singkongnya saja. Singkong juga dapat
diolah menjadi pizza singkong dan cake singkong.
- Urban farming. Agar bisa mengolah pangan dengan biaya murah
dan mudah, pelaku kegiatan menanam berbagai macam sayuran, tanaman
penghasil karbohidrat seperti jagung dan singkong, tanaman penghasil bumbu
dapur, tanaman obat keluarga serta tanaman produktif lainnya seperti
pepaya dan pisang.
- Composting. Demi memperoleh hasil urban farming yang
maksimal, maka diperlukan kompos. Dan kompos murah bisa didapat apabila
pelaku urban farming memproduksi kompos sendiri yang berasal dari sisa
panen urban farming dan sampah dapur (sampah organik).
Hasil proses composting rumah tangga umumnya bagus karena
hampir seluruh unsur yang diperlukan terdapat pada sisa makanan.
- Kompos hasil composting tidak
hanya dapat digunakan untuk urban farming tetapi juga dapat
digunakan untuk membuat terrarium sederhana. Terrarium dapat
dijual sebagai souvenir atau sekedar mempercantik meja. Menimbulkan
kenyamanan siapapun yang beraktivitas di sekitar meja tersebut.
- Pisah Sampah. Karena mengompos, maka otomatis para pegiat urban farming harus memisah sampahnya. Sampah organik untuk composting sedangkan sampah anorganik untuk membuat kerajinan kemasan plastik yang tidak dapat dijual seperti bekas deterjen, pewangi dan kemasan kopi. Hasil akhir kerajinan bisa berupa tas, sajadah dan tikar.
Lingkaran Hijau Komunitas |
Semua hasil
kegiatan tersebut bernilai jual apabila dipasarkan dengan serius, kalkulasi
yang tepat serta ketekunan. Tetapi andaikan pelaku kegiatan enggan
memasarkannya, hasil non materi telah didapat yaitu:
- Ketahanan keluarga, karena setiap kegiatan komunitas umumnya selalu
melibatkan anak-anak. Kegiatan terusan ketika si ibu mengolah pangan untuk
keluarganya berpotensi merekatkan ikatan keluarga, berhasil atau tidak
dalam olah pangannya tetaplah akan menjadi kegiatan bersama yang
menyenangkan.
- Konsumsi pangan sehat. Hasil olah pangan sayuran/tanaman yang berasal
dari urban farming bisa dipastikan lebih menyehatkan karena tanpa pupuk
kimia dan pestisida yang tidak perlu.
- Pengurangan sampah
kota. Hasil akhir composting tidak
hanya kompos tetapi juga berkurangnya sampah kota secara keseluruhan
karena 70 % sampah kota di Indonesia adalah sampah organik. Sehingga akan
berpengaruh secara signifikan terhadap jumlah sampah yang dibuang ke
tempat pembuangan sampah akhir (TPA).
- Pendidikan anak. Kegiatan composting dan urban
farming yang melibatkan anak akan diingat anak hingga tingkat
sekolah yang berkaitan dengan pengalaman ketika dia masih kecil. Misalnya
pengetahuan sederhana tentang rantai makanan, beragamnya setiap tanaman menyerap
zat hara hingga persaingan zat hara yang mengakibatkan bermacam-macam
bentuk tanaman: subur, kurus, tetap “mini” hingga tanaman yang mati karena
seleksi alam. Secara tak langsung anak juga mendapat pengetahuan tentang
cuaca ekstrim yang menyebabkan gagal panen karena curah hujan tinggi
yang terus menerus menerpa suatu tanaman mengakibatkan akarnya busuk dan
mati. Suatu pelajaran yang tidak didapatkan di bangku sekolah.
- Gaya hidup. Anak-anak di pemukiman padat terkadang
menghabiskan uang jajan lebih besar daripada uang belanja sayuran. Mungkin
terpengaruh teman bermain dan orang tua enggan mendengar anaknya merengek
terus-menerus. Jumlahnya beragam sekitar Rp 6.000-Rp 10.000 perhari.
Apabila sang ibu mempunyai 2 anak yang merengek uang jajan setiap hari
maka jumlah terbanyak yang dia keluarkan 2 x Rp 10.000= Rp 20.000. Lebih
banyak daripada jumlah yang dia keluarkan untuk belanja sayur-mayur yaitu
sekitar Rp 5.000 perhari. Dengan mengonsumsi makanan bergizi seperti bolu
kukus ubi diharapkan anak menjadi cukup kenyang sehingga enggan jajan
jajanan yang tidak berkualitas lagi. Anakpun menjadi lebih sehat.
- Perkerabatan antar
warga yang semakin erat. Tidak dapat
dipungkiri bahwa dinamika perkotaan mengakibatkan tergerusnya rasa
persaudaraan antar warga. Bukan sesuatu yang aneh apabila antar tetangga
tidak saling mengenal karena masing-masing sibuk. Atau andaikan saling
mengenal tetapi hanya bertemu setiap lebaran karena asyik di dalam
rumahnya masing-masing. Ajang pertemuan komunitas adalah ajang komunikasi
yang mempererat silaturahmi dan meningkatkan kepedulian soaial.
Jelaslah Ibu
Ani Susilo Bambang Yudoyono tidak salah mengusung slogan. Kegiatan urban
farming memang memberikan banyak manfaat. Diantaranya ketahanan pangan, daerah
resapan air dan secara tidak langsung meningkatkan perekonomian keluarga.
Jadi mengapa
tidak dicoba? Komunitas Engkang-engkang dan komunitas @sukamulyaindah sudah
mencobanya. Mereka memelihara lingkungan hidup dan mendapat profit materi dan
non materi sebagai hasilnya. Asyik bukan?
**Maria G. Soemitro**
Urban Farming di RTH DASsungai Cidurian |
mencoba resep pangan non beras dan tepung terigu, mengajak anak dan menjual hasilnya |
Comments
Post a Comment