“Kita
putuskan kemarin saya akan kasih 10 juta pohon cabai untuk ibu-ibu PKK seluruh
Indonesia, biar tanam di rumah. Petani tetap tanam untuk industri. Cabai kan
gampang ini," ungkap Spudnik Sujono, Direktur Jendral Holtikutura
Kementerian Pertanian. Pernyataan senada dan seirama juga diberikan Menteri
Pertanian, Andi Amran Sulaeman yang selain menyuruh menanam cabai juga menuduh
ibu-ibu rumah tangga sebagai mahluk yang malas (sumber).
“Ini
cabai saja berteriak malas. Kenapa malas? Ibu-ibu ada 126 juta penduduk
Indonesia, kalau ini bergerak tanam cabai, mengurangi gosipnya 5 menit dengan
tanam cabai 5 menit per pagi, selesai persoalan cabai di republik ini yang
selalu kita bahas,” ujarnya (sumber).
Oh…oh…oh…siapa
yang dimaksud malas oleh Pak Amran? Apakah kami para ibu rumah tangga yang
setiap hari harus memastikan suami dan anak selalu kenyang serta berpakaian
rapi? Yang setiap dini hari harus bangun sementara seisi rumah masih tertidur
dan baru beranjak ke peraduan di malam hari tatkala seisi rumah telah
berselimut mimpi?
Waduh,
apakah gara-gara harga cabai melonjak tinggi, kami masuk kategori malas, senang
bergosip, dan harus tanam cabai? Bukankah keresahan harga cabai berasal dari
pasar? Mengapa solusinya menafikan keberadaan pasar? Peran pasar sebagai
penampung komoditi dan penentu harga jelas tidak bisa digantikan dengan
penanaman cabai oleh ibu-ibu.
Ibarat
pendekar melancarkan jurus mabuk yang tidak mengenai sasaran. Analoginya
seorang penderita diare harusnya minum obat, jangan hanya membalur perutnya
dengan minyak kayu putih. Kapan sembuhnya?
KWT (Kelompok Wanita Tani), hasil bentukan dinas pertanian di setiap daerah kota/kabupaten |
Sebetulnya
strategi bagi-bagi tanaman ini bukan hal baru. Kelompok ibu rumah tangga
(termasuk ibu-ibu PKK) di suatu wilayah yang bisa menyiapkan lahan pertanian
akan masuk program kelompok wanita tani (KWT). Ah, bukankah ini domain Kementerian
Pertanian?
Bertujuan
menutup peluang korupsi, di awal kepemimpinannya Wali Kota Bandung mengubah
dana hibah berupa uang bagi kelompok wanita tani (KWT) menjadi hibah tanaman.
Sebelumnya, setiap KWT mendapat dana hibah sebesar Rp 50 juta yang sayangnya
sering berakhir menjadi bancakan di antara aparat dan para oknum di sekitar
KWT. Selain itu, sebelum tahun 2015 penerima dana hibah tidak diharuskan
memiliki legalitas, tidak heran bila ditemukan KWT fiktif.
Berbekal
data di atas, Ridwan Kamil memutuskan agar ada pihak ketiga yang menyediakan
kebutuhan KWT seperti media tanah, pupuk, pot (besar dan kecil) polybag,
perlengkapan pembuatan rumah bibit, pergola serta berpuluh bibit/tanaman muda
seperti terong, tomat, dan cabai. Sayang fakta lapangan tak sesuai harapan,
ribuan tanaman itu berpenyakit atau sekarat. Tentu saja ada yang bertahan, tapi
persentasenya sangat kecil. Berikut beberapa penyebabnya:
Krisis
Air
Mengutip data dari buku “Kehausan di Ladang Air” karangan Zaky Yamani, penduduk miskin perkotaan menggunakan 30 persen penghasilannya untuk membeli air. Komunitas dampingan saya yang kebetulan juga merupakan KWT, tak lepas dari problem krisis air di musim kemarau. Beruntung ada satu sumur umum di tengah permukiman. Walau keluhan tetap terdengar, “Atuh bu untuk keperluan masak aja susah, masa tega untuk nyiram tanaman?”
Mengutip data dari buku “Kehausan di Ladang Air” karangan Zaky Yamani, penduduk miskin perkotaan menggunakan 30 persen penghasilannya untuk membeli air. Komunitas dampingan saya yang kebetulan juga merupakan KWT, tak lepas dari problem krisis air di musim kemarau. Beruntung ada satu sumur umum di tengah permukiman. Walau keluhan tetap terdengar, “Atuh bu untuk keperluan masak aja susah, masa tega untuk nyiram tanaman?”
akibat krisis lahan kaum ibu harus memutar otak adu kreatif |
Krisis
Lahan
Pemilik lahan enggan menggunakan tanahnya yang terlantar, sementara warga yang ingin berkebun justru kesulitan. Tak jarang mereka diusir dari kebun yang awalnya lahan telantar. Pemilik enggan tanahnya menjadi produktif, dengan sejuta alasan.
Pemilik lahan enggan menggunakan tanahnya yang terlantar, sementara warga yang ingin berkebun justru kesulitan. Tak jarang mereka diusir dari kebun yang awalnya lahan telantar. Pemilik enggan tanahnya menjadi produktif, dengan sejuta alasan.
Komunitas
dampingan saya mengalami 3 kali pengusiran, beruntung seorang pemilik lahan di
tengah pemukiman akhirnya membukakan pintu dan mengikhlaskan tanahnya dikelola
ibu-ibu PKK.
krisis sinar matahari |
Krisis
Sinar Matahari
Tidak ada lahan, emperan rumah pun jadilah. Mungkin itu solusi. Tapi sayang, umumnya area ini minim sinar matahari. Beberapa warga akhirnya menggunakan untuk tanaman hias, karena bukan lokasi ideal menanam sayuran. Contohnya di gambar berikut, warga sudah mengeluarkan uang dari kantong pribadi dengan harapan bisa memanen kangkung, sayang hasilnya tidak sesuai harapan. Tanaman cabai pun hanya akan berdaun rimbun di area seperti ini, malas berbunga dan berbuah.
Tidak ada lahan, emperan rumah pun jadilah. Mungkin itu solusi. Tapi sayang, umumnya area ini minim sinar matahari. Beberapa warga akhirnya menggunakan untuk tanaman hias, karena bukan lokasi ideal menanam sayuran. Contohnya di gambar berikut, warga sudah mengeluarkan uang dari kantong pribadi dengan harapan bisa memanen kangkung, sayang hasilnya tidak sesuai harapan. Tanaman cabai pun hanya akan berdaun rimbun di area seperti ini, malas berbunga dan berbuah.
Krisis
Media Tanam
Tanah di Indonesia sungguh subur, sayang di kawasan perkotaan sudah bercampur brangkal. Tanaman cabai akan tumbuh kerdil, berdaun kekuningan dan minim buahnya.
Tanah di Indonesia sungguh subur, sayang di kawasan perkotaan sudah bercampur brangkal. Tanaman cabai akan tumbuh kerdil, berdaun kekuningan dan minim buahnya.
serangan hama membuat ibu rumah tangga angkat tangan |
Serangan
Hama
Jika petani kewalahan menangani hama yang menyerang tanaman cabainya, apakah para ibu rumah tangga lebih piawai dalam menangkis serangan? Logikanya jelas tidak.
Jika petani kewalahan menangani hama yang menyerang tanaman cabainya, apakah para ibu rumah tangga lebih piawai dalam menangkis serangan? Logikanya jelas tidak.
Adu
Kepentingan
“Bu, sekarang saya ngga bisa lagi tanam sayur, suami pelihara merpati, habis daunnya dipatokin,” kata Ibu Ihat, salah seorang anggota KWT yang harus mengalah karena satu-satunya lokasi tempat menanam sayuran yaitu loteng rumah, terpaksa berbagi dengan ternak ayam.
“Bu, sekarang saya ngga bisa lagi tanam sayur, suami pelihara merpati, habis daunnya dipatokin,” kata Ibu Ihat, salah seorang anggota KWT yang harus mengalah karena satu-satunya lokasi tempat menanam sayuran yaitu loteng rumah, terpaksa berbagi dengan ternak ayam.
Keluhan
berujung gagalnya urban farming di perumahan padat penduduk
sungguh beragam, mulai dari hobi suami memelihara ayam atau burung yang tidak
bisa ‘berteman’ dengan sayuran hingga tangan–tangan mungil balita mereka yang
rupanya senang sekali mencabut atau memetik daun serta bunga yang baru tumbuh.
Kriminalitas
Bagaimana rasanya mengetahui tanaman yang dirawat sejak berwujud benih hingga berbentuk tumbuhan muda, mulai mengeluarkan umbi yang masih sangat muda, tiba-tiba hilang dalam waktu semalam? Peristiwa pencurian ubi jalar, singkong dan pepaya yang ditanam di lahan terlantar kerap terjadi di perkotaan. Pelakunya bisa siapa saja, mulai dari orang iseng hingga mereka yang sungguh-sungguh ingin tapi sungkan meminta dan malas menanam sendiri.
Bagaimana rasanya mengetahui tanaman yang dirawat sejak berwujud benih hingga berbentuk tumbuhan muda, mulai mengeluarkan umbi yang masih sangat muda, tiba-tiba hilang dalam waktu semalam? Peristiwa pencurian ubi jalar, singkong dan pepaya yang ditanam di lahan terlantar kerap terjadi di perkotaan. Pelakunya bisa siapa saja, mulai dari orang iseng hingga mereka yang sungguh-sungguh ingin tapi sungkan meminta dan malas menanam sendiri.
Nah,
jika tanaman ubi jalar bisa dipanen oknum tak bertanggung jawab, bisa
dibayangkan nasib buah cabai rawit yang sedang meroket harganya. Tak heran
banyak petani meronda kebun cabainya secara bergantian. Lha ibu rumah tangga?
Masa harus meronda tanamannya juga?
memaksimalkan lahan secuplik, hingga batas pemiliknya menjual lahan ini |
Tulisan
ini bukan bermaksud mencari-cari alasan dengan memaparkan begitu banyak
persoalan mananam cabai yang akan menghadang ibu-ibu rumah tangga. Kami ngga
mau disalahkan lagi jika ternyata proyek menanam cabai di pekarangan rumah
ternyata tidak semulus angan-angan Kementan. Harga cabai rawit tetap mahal,
seperti per hari ini tanggal 18 Januari 2019 harga cabai merah/cabai domba Rp
100.000,-/Kg di Pasar Ciroyom, pasar yang terkenal murah sehingga tukang sayur
berbondong-bondong ke sini setiap harinya untuk berbelanja dan dijual kembali
ke ibu-ibu perumahan.
Ah
bicara tentang tukang sayur, ada pola belanja khas yang dilakukan ibu-ibu rumah
tangga. Mereka biasa beli cabai rawit hanya per bungkus seharga dua ribu rupiah
(rata-rata di kota besar), itu sudah cukup memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Perbedaan hanya pada jumlah. Jika biasanya ibu rumah tangga akan mendapat
puluhan buah cabai per bungkus, kini hanya belasan buah, yang berarti harus
membatasi penggunaan cabai. Sudah hanya itu.
Jadi
konsumen tidak terpengaruh harga cabai? Ya terasa dong dampaknya, mereka adalah
penjual makanan/jajanan yang menggunakan cabai rawit sebagai bahan baku.
Pengusaha makanan ini termasuk penyedia jasa catering, baik untuk
harian maupun pesta. Mereka membutuhkan cabai dan cabai rawit hingga
berkilo-kilo banyaknya. Suara merekalah yang amat menentukan pasar, sesuai
hukum ekonomi, supply and demand.
Kebutuhan
mereka dipasok oleh para petani yang selama ini diabaikan. Setidaknya itulah
ceritera petani cabai rawit Bungbulang, sentra cabai yang terkenal di Jawa
Barat. “Kami mah di gunung, mana ada penyuluh lapangan mau membantu kami.”
Sedihnyaaa……
Comments
Post a Comment