Skip to main content

Tri Mumpuni, Srikandi Pembawa Pelita




Setiap mengikuti upacara 17 Agustus, setiap mengheningkan cipta untuk jasa para pahlawan, apakah terbayang perjuangan para pahlawan merebut kemerdekaan ? Memerdekakan rakyat dari penjajahan, kemiskinan, kebodohan dan ketidak-berdayaan. Pastinya sulit, karena kita tidak hidup di era mereka.

Kita hidup di era pengisian makna kemerdekaan dimana sudah seharusnya setiap warga Indonesia merdeka seutuhnya , terlepas dari kebodohan, kemiskinan dan ketidak berdayaan.
Salah satu faktor yang sangat membantu proses itu adalah fasilitas listrik. Listrik yang diakrabi masyarakat perkotaan hingga apabila terjadi byarpet akan terdengar gerutuan panjang lebar bahkan status facebook dan trending tropic twitter berisi kelalaian PLN tersebut.

Bagaimana dengan masyarakat pedesaan khususnya pedesaan tanpa infrastruktur jalan memadai ? Maaf, maaf …….mengurusi listrik di wilayah perkotaan saja PLNsudah keteteran, apalagi untuk pedesaan di wilayah terpencil.

Beruntung, Indonesia mempunyai Tri Mumpuni, Direktur Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (Ibeka) yang bahu membahu dengan suaminya Iskandar Budisaroso Kuntoadji membangun fasilitas listrik tenaga air (mikro hidro). Khususnya untuk daerah dengan tangkapan air di hulu seluas 30 kilometer persegi. Sehingga pelestarian lingkungan berupa tidak adanya penebangan dan penggundulan vegetasi mutlak diperlukan.

Manfaat langsung adanya listrik tentunya keleluasaan waktu warga. Anak anak bisa belajar mengaji maupun pelajaran sekolah selepas magrib. Ibu rumah tanggapun bisa mengerjakan tugasnya tanpa terbelenggu waktu bahkan mengaji menjelang sholat subuh, hal yang sulit dilakukan ketika listrik belum menerangi wilayah mereka.

Bagaimana dengan para bapak dan pemuda pemudanya ? Sama saja , mereka leluasa untuk mengadakan pertemuan, berbagi ilmu dan bersosialisasi. Karena pembangunan pembangkit listrik ini membutuhkan komunitas yang harus memelihara tidak saja turbinnya tetapi juga kestabilan aliran air sepanjang tahun.

Manfaat keberadaan listrik yang dimiliki wargapun lebih unggul daripada warga berlangganan kepada PLN karena warga mempunyai uang bersama untuk membiayai program pendidikan, program kesehatan, program perempuan dan infrastruktur yang dibutuhkan desa.
Kehidupan pedesaan menjadi dinamis, perekonomian tumbuh, kebodohan dan kemiskinan terkikis, kerukunan warga makin kental, sungguh suatu keindahan. Keindahan yang sesungguhnya hingga tak seorangpun warga berkeinginan untuk urban karena apa yang dibutuhkan diperoleh di desanya.

Anehnya, mengapa Tri Mumpuni hanya bisa membangun 60 desa di Indonesia ?Padahal jumlah desa tertinggal adalah 45 % dari total 70.611 desa di Indonesia. Banyak alasan untuk itu, diantaranya ketidak berpihakan pemerintah dan bagaimana suatu desa mengetahui bahwa di daerahnya dapat dibangun pembangkit listrik mikrohidro apabila mereka tidak mempunyai akses ? Walaupun hampir semua televisi nasional pernah mewawancarai Tri Mumpuni, tetapi masyarakat pedesaan terpencil umumnya tidak mempunyai fasilitas listrik, telephone bahkan sarana jalan yang memadai.

Hingga akhirnya Tri Mumpuni sering menjemput bola, mencari wilayah pedesaan yang mempunyai potensi untuk pembangunan turbin dan komunitas yang mendukung,
Letihkah Tri Mumpuni melakoni ini semua ? Nampaknya tidak apabila kita melihat guratan guratan senyum yang selalu nampak di wajahnya.

Dan bagaimana dia menyeimbangkan perannya sebagai istri, ibu sekaligus pejuang ? Ternyata selain bertakwa kepada-Nya, dia selalu berpaling pada suaminya untuk mendapatkan solusi terbaik apabila menemukan masalah.
Dia bercerita pernah suatu ketika berjanji pada stasiun televisi nasional untuk sesi wawancara, tetapi malang pada saat yang bersamaan anaknya kecelakaan dan harus masuk rumah sakit. Ketika dia menanyakan pendapat suaminya, dia mendapat jawaban : “Ada saatnya kamu harus mengorbankan yang lain”. Tentu saja yang dimaksud yang lain disini adalah wawancara tersebut.

Tri Mumpuni menunjukkan bahwa sebagai perempuan , dia bisa mengisi kemerdekaan dengan membantu masyarakat. Tetapi adakalanya suami dan anaklah yang harus didahulukan. Karena itu memang tugas utama seorang perempuan. Dan suatu keseimbangan terasa indah ketika dilakukan dengan ikhlas, senyum yang mengembang karena berhasil menyelesaikan tugas dilapangan akan mewarnai keluarganya. Demikian pula apabila dia berhasil menciptakan suasana nyaman dan bahagia bagi keluarganya pastilah pekerjaan menjemput bola dan mencari dana bagipembangunan listrik tenaga air di daerah terpencil akan terasa mudah.

Comments

Popular posts from this blog

Nasi Tumpeng Singkong Yang Lekker

  Nasi tumpeng singkong pesanan Kecamatan Sukajadi Siapa yang tak kenal tumpeng? Setiap syukuran rumah baru, ulang tahun, khitanan dan berbagai even lain, umumnya penyelenggara pesta menghidangkan tumpeng. Mungkin karena mudah, tidak bingung menyerasikan nasi dan lauk pauknya. Yang penting rame ketika acara motong tumpeng yang biasanya ditandai dengan menyendok puncak tumpeng dan memberikan pada seseorang yang dihormati/disayangi.  Ternyata bentuk tumpeng yang mengerucut keatas merupakan symbol agar kualitas hidup terus meningkat, sedangkan lauk pauk menjadi symbol ekosistem kehidupan alam. Itulah mungkin penyebab begitu beragamnya lauk yang tersaji di tumpeng, mulai dari urap, telur balado, ayam goreng, sambal goreng tempe, perkedel dan tentu saja tak pernah ketinggalan: “sambal!” Mengingat begitu seringnya tumpeng disajikan, kamipun memutar otak agar syukur-syukur jika suatu kali nanti mendapat order, minimal ya memperkenalkan makanan olahan singkong da...

Siti Jenab, Pahlawan Pendidikan dari Tatar Cianjur

sumber:plukme.com Siapa yang tak mengenal Kartini, sosok yang memperjuangkan emansipasi perempuan Indonesia?   Mungkin tak ada. Tanggal lahirnya, 21 April diperingati sebagai Hari Kartini dan dimeriahkan oleh anak sekolah hingga pegawai kantoran. Namun nampaknya hanya sedikit yang tahu bahwa selain Kartini, ada 3 tokoh perempuan Sunda yang jasanya tak kalah mulia. Mereka adalah Raden Dewi Sartika, Raden Ayu Lasminingrat dan Raden Siti Jenab. Telah diakui sebagai Pahlawan Nasional, Raden Dewi Sartika berjuang memuliakan perempuan melalui jalur pendidikan. Sakola Istri yang dibangunnya pada tahun 1904 tetap kokoh berdiri hingga sekarang. Berganti nama menjadi Sakola Kautamaan Istri pada tahun 1910, bangunan sekolah yang telah berpindah dari pendopo Kabupaten Bandung dapat dilihat di Jalan Kautamaan Istri Kota Bandung. Sosok kedua adalah Raden Ayu Lasminingrat, merupakan tokoh emansipasi perempuan, pelopor pendidikan dan aktivis Perempuan Sunda. Jasanya   dalam...

Imas Masitoh; Perempuan Pejuang dari Kampung Cibungur

Hidup dengan kekurangan materi tidak menyurutkan langkah Imas Masitoh Resmiati untuk berbuat baik pada sesama. Penjual gorengan berusia 42 tahun ini merasa terenyuh melihat banyaknya anak yatim piatu   disekitar tempat tinggalnya.   Imas memahami betapa mereka butuh perhatian dan kasih sayang. Kebutuhan intangible yang sering tidak dipedulikan   di masa serba cepat dan instan ini. Padahal banyak diantara anak yatim piatu yang tergolong anak berkebutuhan khusus. Imaspun   akhirnya   berinisiatif mengasuh mereka. Apa yang dilakukan Imas tergolong nekad. Penghasilan dari hasil menjual gorengan dan keset hasil kerajinan tangan yang dijajakan dari rumah ke rumah, jelas tidaklah cukup. Ditambah suaminya pengangguran akibat pemutusan hubungan kerja. Rumah kecilnya juga tidak dapat menampung penghuni baru karena Imas sudah memiliki 2 anak. Namun Imas percaya, Tuhan akan membantu setiap perbuatan baik. Dan keyakinannya terbukti, bantuan mengalir. Jumlah an...